Saturday, July 5, 2008

Nadiku Tak Pernah Berhenti

“ Bang genggam tanganku”, pinta perempuan itu dengan manja kepada pasangannya. Sudah sejak jam empat sore Sri dan Bahar menikmati jalan-jalan, prosedur kemesraan yang sudah lima tahun ini menjadi simbol hubungan mereka. Bukan cuma Bahar-Sri, muda-mudi lain bahkan pasangan berumur menggandeng mesra pasangan masing-masing di tengah hilir mudik pengunjung Mall besar ibukota ini.
“ Mas, ndak apa-apa toh, kita hidup seadanya dulu” tutur perempuan ndeso. Rencana perkawinan mereka terkatung-katung sudah dua tahun terakhir. Orang tua Nunuk menginginkan agar Tejo menjadi pegawai tetap dahulu sebelum menikah.

****

Merekam peristiwa romantis di Mall tidak lah sulit apalagi di Malam Minggu seperti ini. “ Ma ..ma, pindah yuk, jangan dipojok…. berisik, Mentari nggak konsen nih makan Ma”. Bintang nama sulung Nadi sebaliknya berharap dua adiknya nggak rewel, siapa tahu mamanya jadi tertarik lagi dengan laki-laki. Restoran di Mall ini memang tidak pernah membuat partisi, mana ruang keluarga, mana ruang non keluarga, kecuali batas areal yang tidak dan boleh merokok. Manajemen restoran hanya mempertimbangkan gangguan asap rokok, tapi Mentari lebih dari itu. Dia tak ingin mendengar kelakar gombal yang mengelilingi keluarganya. Mentari yang masih kecil saja sesak nafas apalagi Mamanya. Empat anak beranak ini memang tak pernah berpikir suasana makan malam mereka akan terganggu seperti ini. “ Sudah-sudah yang penting kalian makan yang banyak, abang….kakak..adek ayo habiskan , entar ayamnya sedih.. gak kalian makan”. Nadi mencoba berfilsafat bahwa di dunia ini harus ada yang rela berkorban, jika tidak korban-korban akan bertambah terus.
****
Sudah setahun terakhir Nadi menikmati hasil perjuangannya menghentikan jatuhnya korban. Dia sendiri mengurus perceraian karena suami benar-benar tidak peduli dengan urusan rumah tangga. Gaji yang besar, karir yang gemilang dan kemesraan yang mereka jalani selama dua tahun dimasa pacaran tidak bisa menjamin keutuhan rumah tangga. Keluarga mereka jatuh berkeping justru ketika Tuhan menguji pasangan muda ini lewat kakek-nenek dari anak-anak mereka sendiri yang praktis adalah keluarga mereka juga. Orang tua Nadi membutuhkan belaian kasih sayang anaknya karena penyakit yang diderita. Nadi, seperti juga manusia didunia tentu menginginkan hidup dengan sehat, tapi siapa sangka Tuhan memberikan coban hambanya dengan cara yang tidak pernah mereka pikirkan .
Sebagian orang seperti juga orang tua Nunuk menganggap kekayaan materi dan kemapanan adalah dasar membina keluarga. “ Kalau dua tangan sudah disatukan beban berat akan terasa ringan” . Tulisan ini terbaca Nadi di etalase toko buku ketika mereka berkemas pulang. Hampir seluruh restoran franchise di Jakarta mengharuskan kalo mau makan harus bayar dulu, berbeda dengan restoran Padang pinggir jalan, makan dulu-bayar nanti. Orang Padang berpikir tidak bakalan menipu kalau sudah berurusan dengan perut. Kalau memang konflik karena urusan nafkah, kembalikan saja ke pepatah lama “ Bulek aik dek pambuluah, bulek kato dek mufakat - bulatnya air mengalir karena pembuluh bambu yang lurus, bulatnya kata karena ada mufakat. Namun zaman berganti tidak sedikit warung padang modern yang menghilangkan azas kekeluargaan dalam mencari dan memberi nafkah.
****
Bintang dan Mentari sejak tadi pagi berkemas, tidak sulit membangunkan keduanya, mereka tahu diri siapa ibu mereka. Buat apa merengek dipasangkan baju seragam, ibunya juga tidak pernah merenggek-merengek hidup sendiri. Pekerjaan laki-laki bahkan diambil alih. Sejak berpisah dengan suami, iklim kemandirian menyelimuti keluarga kecil ini, kecuali adek kecil yang belum bisa dibesarkan dengan iklim asing seperti itu. Pipi tembem menandakan dia memanjakan dirinya, rambut ikal jatuh bebas. Kalo memang sudah kelewat batas, neneknya membatasi. Tugas mengawasi si bungsu beralih peran dari Nadi ke nenek tanpa diketahui sang pemangku kepentingan. Sungkan untuk membangunkan si bungsu untuk pamitan, karena Nadi harus mengejar Bis menuju Jakarta, tetapi kasih sayang sudah ditransfer Nadi ke ibunya. Peran ganda dua perempuan di rumah BTN ini amat terasa, terutama sepeninggalkan pemberi nafkah keluarga ini.
****
Di siang hari penduduk Jakarta jauh lebih padat, daerah hinterland Tanggerang, Depok, Bogor mengepung dari Utara-Selatan,Timur-Barat. Di pinggiran Jakarta mereka tentramkan keluarga, tapi di ibukota mereka mengeksploitasi peluh. Sebetulnya Nadi bisa saja menyopir sendiri dari pinggiran Jakarta ke jantung ibukota, tempat dia bekerja. Tapi akan merugi. Sejak penyakit bapaknya datang menguji, Nadi lah yang menemani Bapak ngobrol. Pak Imam tak bisa apa-apa, apalagi memimpin ekonomi keluarga seperti dulu dia membesarkan anak-anaknya. Kali ini dia butuh dua perempuan di rumah yang ditumpangi bersama sang istrinya.
Tanpa disadari insomnia menggeroti Nadi, sebagian waktunya dihabiskan di kursi bis dan kursi kantor. Antara dua kursi dia memilih kursi bis sebagai tempat tidur. Praktis nyenyak tidur tergantung dengan tersedinya kursi kosong. Jadi merugilah perempuan ini kalau harus mengemudi sendiri. Kernet bis saja bisa mengumpat kasar dengan lalu lintas kota apalagi Nadi ………akan hilang aura kecantikannya. Belum lagi harus berbagi konsentrasi, lebih produktif kalau konsentrasi dialokasi untuk karirnya..”..toh ini periuk nasi ” jawaban Nadi kepada putranya ketika Bintang memohon agar mamanya pulang cepat agar Cinta adik bungsu dan Mentari bisa melihat mamanya pulang kerja.
****
Nadi berbagi kasih sayang antara suami, anak dan orang tua. Lama kelaman, suami Nadi cemburu, tak mau menerima ujian Tuhan. Dua tahun pacarannya hampir tidak dia ingat, Bram suami Nadi sungguh kecewa, kenapa Nadi tidak seperti dulu, berjalan berdua di Mall, nonton di bioskop 21 sambil meremas jari.
“ Bukan begitu bang, ini kan keluarga kamu juga, merawat orang tua sama seperti merawat anak kita, toh mereka sudah hidup bersama sejak kita menikah”. Tanpa disadari ungkapan Nadi menjadi titik awal perpecahan pasangan muda dengan tiga anak lucu-lucu. Hari-hari selanjutnya diisi pertengkaran, meski selalu dibungkus sekam. Perubahan Nadi dibaca si sulung, dia dikarbit keadaan hingga mengerti pertengkaran orang tuanya. Tapi si Tembem dan kakaknya, hanya paham orangtuanya sibuk bekerja , titik….. itu saja.
Kehidupan hambar dijalani keluarga kecil ini sudah berlangsung dua tahun, sebelum akhirnya…..pleg..pleg lunglai seperti ayam terkena sampar. Nadi mencoba setia dengan kehidupan. Sebetulnya Bram juga tidak punya kekasih gelap. Keduanya yakin hanya cinta segitiga yang membuat orang tak ramah dengan lembaga perkawinan. Sama sekali Bram-Nadi tak menyangka orang ketiga itu telah diturunkan Tuhan lewat kedua orangtuanya. Setulnya ketiga sisi tidak sama besar, sebagai anak sudah wajar menopang keadaan orang tua dimasa senja. Bram juga seperti itu, dia bahkan manja sekali dengan Mamanya. Kalau tidak dengan anak-anak, Bram pergi sendiri mengadu, mengeluh dengan Mama tempat bermanja.

****
Di Sabtu seperti ini biasanya pengujung Mall akan membludak, masih seperti dulu ketika Nadi dan Bram masih bersama. Hanya saja kini Nadi sudah sendiri. Berjalan menghibur diri, menjaga keseimbangan diantara outlet kosmopolitan. Nadi tidak lagi tergiur dengan pernak-pernik accesories kecantikan apalagi mengulang memori di restoran tingkat dua itu. Nadi memanfaatkan sedikit waktu sepulang kerja, melihat buku-buku yang baru terbit. Ini Mas, pramuniaga menunjuk buku di gerai best Seller, ada “AYAT-AYAT CINTA”. Tapi nadi tidak seperti Nadine, yang tak fasih bicara I Love You. Nadi tidak tidak berhenti memikul beban meski hanya lingkup keluarga, soal I Love You dia hanya bersuara dalam hati.

Nadi tak pernah jera dengan kehidupan tak berpihak, jalan sudah dilewati tak mungkin kembali. Nadi terus menjaga denyut agar tak berhenti untuk orangtuanya, untuk ketiga anaknya yang diharapkan tumbuh besar seperti kutilang, terbang bebas, menyenandung merdu disela daun-daun hijau.
“Ya Tuhanku jadikan anak-anakku lebih mengerti hidup, beri mereka kekuatan untuk melawan keadaan tapi jangan Kau lupakan, Tuhanku Yang Maha Pemurah memberikan keseimbangan diantara tiga pilar kehidupan nanti “ ungkap Nadi dalam do’a dan catatan kecilnya. (Fithrorozi)

Tanjungpandan 1838 - 2008

Catatan Sejarah ini dikumpulkan dari berbagai sumber pustaka, Komunitas Telinsong Budaya mengumpulkan catatan dari beberapa buku diantaranya Gedenkboek Billiton 1852-1927, Tweede Deel ‘S-Gravenhage Martinus Nijhoff yang ditulis pada tahun 1927


TANJUNGPANDAN DI MASA KOLONIAL
Perkembangan Kota Tanjungpandan di masa kolonial dijelaskan panjang lebar dalam buku Gedenkboek Billiton 1852-1927 dan dibuktikan dengan peninggalan budaya kolonial seperti Emplassemen dan Juliana Park di Tanjungpendam, Hoofdkantoor (sekarang Barata Dept Store), Landraad (Kantor Dinas Pendidikan), Holand Indische School (SMPN 1 Tanjungpandan) atau gedung Societet.

Perkembangan kota Tanjungpandan masa kolonial diperkirakan mulai dari pertengahan abad XIX –ketika timah mulai dieksplorasi hingga pertengahan abad XX –akhir masa pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Gedung Societeit. yang terletak di ujung utara pertemuan jalan Gegedek dan Jalan Endek sekarang .Gedung soceiteit semula milik ibu Hong Chong Chun. Selain itu ada gedung societeit lain yang dibangun pada tahun 1871. Menurut keterangan masyarakat pada tahun 1918 pernah menjadi pos jaga militer.

Selain pengaruh kolonial, budaya Tionghoa juga mewarnai perkembangan kota seperti Klenteng Hook Tek Che yang dibangun pada tahun 1868 dan rumah Kapiten China Hong Chon Chun (Ho A Jun) yang terletak di jalan Soceiteit Straat (sekarang Jalan Endek). Rumah ini terdiri dari aula dan 8 kamar dilengkapi 8 jendela samping, 7 jendela depan, 1 buah pintu besar dan 2 pintu belakang. Selain sebagai rumah tinggal juga berfungsi sebagai kantor Kapiten Cina dan perkumpulan sosial kaum elit Tionghoa Chung Hwa Hui

Jumlah penduduk Tionghoa dari tahun 1856 sampai 1866 meningkat dari 627 menjadi 2724. Umumnya berasal dari daerah Tiongkok Selatan yang didatangkan oleh Maatschappij sebagai imigran bebas. Selain ikatan kontrak mereka juga diikat dengan pemakaian candu sehingga tahun 1857 hak tunggal penjualan candu dikelola oleh orang Tionghoa.

Perkumpulan ini juga mendirikan sekolah Chung Hua. Pada bulan Mei 1937 dibangun sekolah Tionghoa lain yakni Sekolah Kien Shien yang menjadi lembaga pendidikan Cina terbesar di Tanjungpandan. Di sebelah barat gedung terdapat bekas panggung terbuka tempat orang-orang Cina menggelar kesenian tradisional pada hari-hari besar Konghucu. Sekolah Kien Shien dalam bahasa Hou Kien bermakna “ bangun baru” yang bertujuan untuk kemajuan .

Keberhasilan ekspedisi pertambangan akhirnya mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Belitung terutama ketika dikelola oleh perusahaan GMB (Gemeenschapplijke Mijnbowmaatscppij Billiton )

Sekian lama dibawah pengaruh Belanda, pada tanggal 10 April 1942 sejumlah 2000 orang tentara Jepang mendarat di Tanjung Pandan dengan menggunakan perahu motor dan kapal tunda. Jepang berupaya untuk membumi hanguskan hal-hal yang terkait dengan administrasi dan produksi Belanda termasuk menenggelamkan kapal keruk, tambang dalam Kepala Kampit dengan sengaja dibanjiri sehingga tidak dapat beroperasi. Pada Tahun 1943 terdapat 23 lokasi tambang dengan produksi 633 ton sedangkan dalam tahun 1945 tinggal bekerja 6 tambang saja dengan penurunan produksi yang sangat drastis yakni hanya 51 ton.

Pada saat pemerintahan kolonial Belanda masih menerapkan secara mutlak sistem sentralisasi dalam pemerintahan yaitu Goweten dikepalai Residen, Afdelingen dikepalai oleh Asisten Residen dan Onder Afdelingen dikepalai oleh Controlleur dan pada abad XVIII itu pula khususnya pada periode pemerintahan VOC tahun 1722 termasuk periode pemerintahan Daendless tahun 1808 dan Raffles tahun 1811 diperkenalkan nama-nama pangrehpraja seperti Bupati, Patih, Camat dan Lurah/Kepala Desa.

Selanjutnya dikenal sistem desentralisasi dalam pemerintahan di Indonesia saat diterbitkannya Desentralisasi Wet 1903, yang kemudian setelah 19 tahun diubah dengan Bestuurhervorming Wet yang mengenai tiga tingkat daerah otonom yaitu provinsi (provinsi ordonansi) kabupaten (regensche ordonansi) dan kota (staatsgmente ordonansi). Berdasarkan acuan landasan hukum diatas dengan Staatsblad (STBL) 1933 No.565 Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan menjadi Residentie en Orderherichgheiden dengan pulau utama Bangka sebagai Residen dan Belitung sebagai Onder Afderlingen yang dipimpin oleh Asisten Residen

TANJUNGPANDAN DI AWAL KEMERDEKAAN
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru diterima oleh Pemerintah Belitung pada tanggal 6 September 1945 yang dikirim oleh Residen Bangka Belitung (Masjarif) kepada Demang KA.Latif yang bertindak sebagai Wakil Pemerintah Guntyo di Tanjungpandan. Keterlambatan maklumat Proklamasi Kemerdekaan ini mengundang persepsi negative terhadap kepemimpinan Demang KA.Latif

Pada tanggal 29 September 1945. K.A. Latif digantikan oleh Muhammad Jusuf dari Bangka sebagai pejabat pemerintah Jepang di Pangkal Pinang (disebut Busyuzityo) yang berpangkat Departements Hoofd. Namun masyarakat menilai, Mohammad Joesoef masih memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kemerdekaan Republik Indonesia seperti pendahulunya.

Pada tanggal 16 Oktober 1945, Bunsyuzityo mengundang dan mengumpulkan semua pegawai pemerintah untuk kemudian mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu semua pegawai pemerintah mengangkat sumpah sebagai pegawai Republik Indonesia. Inilah tonggak pertama proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Belitung

Akhirnya K.A. Mohammad Joesoef memutuskan untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia di Tanjungpandan pada tanggal 16 Oktober 1945 bertempat di gedung Sekolah Holland Indische School (HIS) yang sekarang SMP Negeri 1 Tanjungpandan dan dilanjutkan dengan pembentukam Komite Nasional Indonesia esok harinya tanggal 18 Oktober 1945 di tempat yang sama. Pada saat yang sama mendarat pesawat terbang Catalina di Pelabuhan Tanjungpandan (muara sungai Cerucuk) yang membawa pegawai NV.GMB Verschure dan Van der Berg.

Selain sebagai pusat pemerintah dan pusat kendali produksi pertambangan, Tanjungpandan juga menjadi bagian sejarah pergerakan politik di Pulau Belitung dari organisasi Muhammadiyah (1924-1950), Partai Nasional Indonesia (1928-1943), Partai Indonesia Raya (1937-19430) hingga Noeroel Islam (1937-1943).

Tanggal 21 Oktober 1945, kapal HMS Admiral Tromp, yang dinakhkodai oleh Kolonel Laut Stamp mendarat di Pelabuhan Tanjungpandan. Dalam kapal tersebut ikut serta tentara NICA (Nederlands Indies Civiel Administration) yang dipimpin oleh Mayor Textor. Tentara NICA langsung menduduki kantor polisi, kantor telegraf, tangsi militer, rumah sakit dan menjaga tempat-tempat strategis lainnya. Pendaratan ini memicu perlawanan. Pada bulan November 1945 pergerakan fisik semakin tidak bisa dihindari. Sejumlah tokoh dari Sjuk antara laini Mad Daud Malik, Muhani Mahran, Kulup Kamarudin, R.Margono terlibat dan menggelorakan pertempuan dan terkonsentrasi ke Tanjungpandan.

Pasca pergerakan fisik, Tanjungpandan masih menjadi bagian dari kegiatan pergerakan politik seperti Partai Indonesia Muda (1946-1951) Panitia Moektamar Rakyat Indonesia (PAMORI) yang diketuai oleh Dr.Marsidi Joedono, Persatuan Kaum Buruh Indonesia atau PERBAKI Belitung (1945-1947) dipelopori oleh Dr.Marsidi Joedono, Latumenten, Asim Idris, Billiton Raad atau Dewan Belitung (1946-1948 )

Kota Tanjungpandan melewati berbagai pergolakan sebelum akhirnya suasana kota menjadi kondusif. Sekitar tahun 1951 Bung Karno dan Bung Hatta mendarat di Pelabuhan Udara Buluh Tumbang. Selama berada di Tanjungpandan, Bung Karno sempat berorasi di Gedung Nasional sementara Bung Hatta meresmikan Pabrik Keramik.

Tanjungpandan berkembang karena memiliki infrastruktur layaknya kota pesisir dan menjadi pusat administrasi dan pusat pertumbuhan di Pulau Belitung. Selain Dipati, Tanjungpandan merupakan kepanjangan dari pemerintah yang berpusat di Bangka.

TANJUNGPANDAN PUSAT PEMERINTAHAN
Penyelenggaran Pemerintahan dari tahun 1950 hingga tahun 2002 (Pembentukan Provinsi Bangka Belitung), Pulau Belitung termasuk Daerah Tingkat II Sumatera Selatan yang beribukota di Tanjungpandan. Pada awalnya terdiri dari 4 wilayah kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Tanjungpandan
2. Kecamatan Manggar
3. Kecamatan Gantung
4. Kecamatan Membalong

Sampai tahun 1971, masyarakat Belitung sangat mengenal dan terikat dengan tiga unsur pokok (Tritunggal) sebagai sesepuh masyarakat desa yaitu Lurah, Penghulu dan Dukun, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat desa. Pada tahun 1924 mulai dibentuk kelurahan sampai batas tertentu adalah otonomi dimana Belitung Barat terdiri dari 28 kelurahan dan Kewedanaan Belitung Timur dengan 20 kelurahan .

Isu membentuk wilayah pemerintah yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan pernah muncul ketika mengusulkan membentuk negara federal BABERI (Bangka Belitung Riau). Untuk kepentingan tersebut dikirim utusan untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 yakni Saleh Achmad dan Dr. Lim Chai Lie dari Bangka serta Kiai Agus Yusuf dari Belitung, bersama dengan wakil negara bagian lainnya serta wakil Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa pemerintahan RIS, KA.Yusuf yang menjabat sebagai Demang (Bupati) bersama Tjhang Tjin Kon mewakili Bangka Belitung dalam delegasi RIS di Konferensi Meja Bundar di Denhaag Belanda, pada tanggal 27 Desember 1949. Sebagai Wakil Kepala Daerah Belitung diangkat Prof.Dr.H.Marsidi Joedono. Selain Joedono (orang tua dari Billy Joedono Mantan Ketua BPK era Presiden Soeharto), jabatan Wakil Kepala Daerah dikekal dengan sebutan Bupati Muda (dijabat Panjaitan) dimasa pemerintahan Bupati Hanandjudin, dan kini (periode 2004-2009) disebut Wakil Bupati.

Namun demikian, setelah pengabungan dengan NKRI, status Bangka Belitung terdegradasi turun menjadi Kabupaten, karena Perpu No.3/1956 menghapuskan status Keresidenan dan melalui UU Darurat No.4 Tahun 1956, Bangka Belitung digabungkan menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Selatan.

Masa Ke-Dipati-an telah berakhir, sejumlah Kepala Daerah telah menjadikan Kota Tanjungpandan sebagi pusat pemerintah dan yang pasti tidak lagi di Kampong Raje. Kekhawatiran terhadap muncul “kerajaan kecil “ di otonomi daerah memang selalu ada. Namun mereka yang telah berbuat sudah layak kita hargai , yang salah diperbaiki yang benar ditauladani. Kami, Komunitas Telinsong Budaya hanya mengumpulkan dengan segala hormat catatan ini pun masih butuh koreksi. Kami menghargai dan mentauladani pemimpin kami, para Bupati maupun pejabat Bupati yang pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di Pulau Belitung.

1. Adji Murod (1950-1952)
2. Mustafa Ratu Tunggal (1953-1954)
3. Oemar Said (1955)
4. Zainal Abidin Pagar Alam (1955-1958)
5. Raden Abdullah (1959-1960)
6. Raden Sumbadjie (1960-1961)
7. Wahab Adjis (1951-1967)
8. Letkol (Purn) TNI AU H.Achmad Sanusi Hananjuddin (1967-1972)
9. Koesnio Hadi (1973-1977)
10. Datuk Lela Siregar, SH (1977-1978)
11. Mas Sofyan (1978-1980)
12. Cholil Aziz, SH (1980-1981
13. Kolonel (Czi) H.Soemarsono (1981-1986)
14. Kolonel (Czi) H.AS.Kristyanto (1986-199
15. Letkol Inf Urip TP.Alam (1991-24 Sep 1998)
16. Nang Ali Solichin (24 Sep 1998- 6 Maret 1999)
17. Ishak Zainudin, Bsc (1999 – 26 Februari 2004)
18. Ir.H.Darmansyah Husein (2004-2009)

Belitong Antara Kolonial, Feodal dan Komunal

Sejak Ki Ronggo Udo memasuki wilayah Pulau Belitung abad ke-15 dengan menyusuri Sungai Buding, di Pulau Belitung sudah bermukim sekumpulan masyarakat. Karena ada penduduk Ki Ronggo Udo dapat membangun sebuah “kerajaan kecil” yang berpusat di Badau. Pada masa ini istilah Depati belum berlaku.

Salah satu bukti kekuasaan ke-dipati-an adalah munculnya gelar-gelar Kiai Agus yang belum dikenal diawal-awal pemerintah kerajaan Badau dan berlakunya berbagai titah yang dicanangkan Depati Tjakraninggrat. Beberapa titah terurai dalam beberapa pasal sebagai berikut :

PASAL A
Peraturan mengenai keturunan Depati meliputi 4 (empat) bagian, meliputi :

· Kiai Depati Tjakraninggrat adalah Raja Belitung
· Gelar K.A (Kiai Agus) untuk keturunan laki-laki dan NA (Nyi Ayu) untuk keturunan perempuan
· Sebutan Awang untuk bujangan dan Dayang untuk sebutan perempuan
· Mak dan Ayah keturunan kedua kali dari sebelah perempuan, tetapi yang menjadi ahli waris Kiai Depati Tjakraninggrat keturunan sebelah laki-laki, yaitu Kiai Agus dan Nyi Ayu untuk perempuan yang berhak menerima pusaka (hak) Kiai Depati untuk keturunan pendahulu berhak mendapatkan pangkat Depati dengan gelar Tjakraninggrat,

Jika Depati wafat harus diangkat lebih dahulu pengganti yang baru dari anak keturunan tertua dengan sebutan punggawa, tetapi jika belum ada boleh anak lelaki lain yang diangkat Kiai Depati, jika tidak ada anak laki-laki, maka harus diangkat saudara laki-laki Depati atau anak saudaranya atau cucunya atau cucu Depati tertua dari sebelah laki-laki yang bernama Kiai Agus. Tetapi jika semuanya tidak ada, anak perempuan atau saudara perempuan yang bergelar Nyi Ayu dapat diangkat menjadi Depati Belitung.

Proses pengangkatannya dipilih dan ditetapkan oleh Ngabehi- Ngabehi dari Depati Tjakraninggrat bersama punggawa dan seluruh Pegawai Negeri Belitung serta rakyat yang tua. Jika Depati Tjakraninggrat tidak berada ditempat maka lelaki yang sudah bergelar punggawa atau anak laki-laki Depati dapat menggantikan Depati untuk menjalankan segala kewajiban Depati Tjakraninggrat


PASAL B
· Anak laki-laki dan perempuan pada orang tua perempuan, atau anak awang disebut Awak. Orang tua perempuan disebut umak Untuk orang tua laki-laki dipanggil Aya
· Jika saudara kandung menyebut nama Kiai Agus atau Nyi Ayu begitu saja, tetapi adeknya memanggil Kak pada saudara laki-laki yang lebih dua darinya
· Jika Bapak saudara tua memangilnya Awak dan yang muda Paman
· Untuk Umak saudara tua panggilannya Awak yang muda panggilnya Bibi


PASAL C
Perangkat Kebesaran Depati
Perangkat kebesaran Depati meliputi :
· Bendera Ular-Ular, Payung yang serba kuning digunakan pada saat kelahiran atau wafat
· Untuk anak Depati terutama yang bergelar Pungawa menggunakan Bendera ditengah kuning dipinggir hijau

PASAL D
Pesta Perayaan Perkawinan (Gawai)

Jika Depati mengawinkan anak atau cucunya dengan sebuah pesta perayaan disertai dengan berkhatam Al-Quran begitupun pada saat bersunat. Peraturan adat yang berlaku dalam perayaan adalah sebagai berikut :

.Apabila hendak melaksanakan perayaan, Depati memanggil para Ngabehi Distrik, Qoriah, Batin, Lurah, Mandor dan dukun–dukun kampung ke tanah pusaka Depati (rumah Depati), Jika semua sudah berkumpul Depati mentitahkan (menyampaikan) hajat untuk dijalankan sesuai dengan adat.

· Para Ngabehi dan Pegawai Negeri mengatur segala pekerjaan, mengerahkan rakyat, membuat Balairung untuk tempat gong, kelinang, gendang dan sebagainya

· Apabila sudah pekerjaan direncanakan dan peralatan sudah disiapkan, Depati bertitah (menentukan) hari atau batas waktu selesainya semua pekerjaan

· Para Ngabehi dan Pegawai Negeri mempersembahkan aneka rupa persembahan seperi daging rusa, kijang, pelandok (kancil), ayam atau beraneka macam sayuran serta beras cerai dan ketan.

· Pada sore harinya dukun kampung melakukan selamat kampung. Jika sudah selesai maka gong, kelinang dan gendang dipukul serta ditiupkan serunai di sebuah Balai. Di halaman ramai masyarakat menari sebagai tanda bahwa Gawai sudah dimulai.

· Para Ngabehi dan Pegawai Negeri serta rakyat yang diundang berkumpul di Majelis Balai Raja, disana disediakan makan dan mimum yang pantas dan bersuka ria bermain aneka rupa permainan, ada yang memukul gedang, menari dan banyak juga yang berjudi sabung ayam

· Apabila penganten pergi mandi, pergi ke pelaminan atau pergi bertemu penganten perempuan dirumahnya atau pergi berkhatam atau bersunat maka akan diarak disuatu tempat dengan bentuk seperti burung merak atau bentuk lain yang indah diarak keliling kota dengan gong dan gendang serta bunyi-bunyian lain yang sudah disediakan sebelumnya diserta sejumlah perangkat kerajaan dan dipasangkan meriam atau lila dan senapan sebagaimana sudah diatur sebelumnya.

· Jika penganten hendak mandi bersiram maka terlebih dahulu diletakan diatas timbangan yang telah diatur sesuai adat dengan dililit kain kuning. Kemudian dibacakan doa-doa. Penganten didudukan diatas timbangan sebelahnya ditaruh uang ringgit dan bujong berisi air mandi penganten kira-kira seperempat jam lamanya, lantas berangkat ketempat yang lain, buat bersalin pakaian yang akan digunakan untuk bersiram. Setelah menyiram penganten dan kaum lelaki dan perempuan bersimbur-simburan air sesuka mereka, aturan ini akhirnya bukan saja diikuti oleh anak cucu Depati tapi juga menjadi adat masyarakat

Perangkat kebesaran seperti gong, bendera, meriam, kelinang dan gendang dibunyikan pada saat perayaan hari besar, lebaran haji ataupun awal puasa sekaligus menjadi simbol kegembiraan masyarakat.

Nampak Tilas Perjalanan Hidup KA.Rahad (1 juli 1838 – 24 november 1854)
Pusat pemerintahan berada di Balok Lama dan Balok Baru Tebing Tinggi, kemudian Depati Tjakraninggrat V dan saudara mudanya ikut memimpin negeri, saudaranya yang muda ini disenangi rakyat, karena Depati Tjakraninggrat V sifatnya agak keras, kemudian Depati Tjakraninggrat VI memindahkan pusat pemerintahan ke Cerucuk sampai pada masa kepemimpinan Depati Tjakraninggrat VII. Pusat pemerintah di Cerucuk kian hari bertambah ramai karena kemudahan akses pelayaran. Seperti halnya kebanyakan Raja Melayu, Depati pun memiliki tanah pusaka.

Setiap tanggal 1 Juli tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah rutin berziarah ke makam KA.Rahad yang terletak di Desa Kembiri. Namun jarang sekali Makam KA.Hatam yang bergelar Depati Cakraninggrat VII (orang tua KA.Rahad ) yang berada di dekat Sungai Cerucuk diziarahi terutama pada saat peringata Hari Jadi Kota Tanjungpandan.

Pada tanggal 17 Mei 1812, Inggris resmi menjajah Belitung, namun tidak pernah berada di Belitung. Melalui Mayor Gourt, Inggris kemudian mengangkat Raja Akil dari Siak sebagai kepala (penguasa) pulau Belitung tetapi ia pun tidak tinggal di Belitung dengan maksud memutuskan hubungan antara K.A Mohammad Hatam dengan Raden Keling yang bertempat tinggal di Toboali Bangka yang karena suatu sebab tidak disukai Inggris.

Pada masa Depati Tjakraninggrat VII ( Kiai Agus Mohammad Hatam) tepatnya tahun tahun 1824 Pemerintah Barat mulai memberi tulage tiap-tiap bulan f.150,-. Namun kemudian dihilangkan. Jumlah uang sebesar itu berasal dari hasil penambangan timah disisihkan. Perusahaan Belanda juga memberikan sejumlah dana pembangunan untuk masyarakat yang lebih dikenal dengan Bevolkingfonds Billliton. Dana tersebut antara lain dimanfaatkan untuk mendirikan Sekolah Teknik Pertukangan dan Teknik Mesin (Ambacht Cursus) di Manggar .

Tahun 1813 Raja Akil yang waktu itu belum pernah datang ke Belitung datang ke Cerucuk. Ia langsung menjalankan siasat liciknya untuk menjatuhkan kekuasaan Kiai Agus Mohammad Hatam. Dalam Syair Perang Palembang Nomor 1, 31 dan 32 , sifat Raja Akil digambarkan :

Alkisah pertama mula
Pangeran Muhammad membuat cela
Raja Akil demikian pula
Beserta dengan kafir segala

Holanda semuanya banyaklah lari
Diusir hulu balang kesana kemari
Raja Akil siap pencuri
Didalam rakit melindungi diri

Itulah Raja yang sangat hina,
Ditanah Melayu tidak berguna,
Ditanah Belitung membuat pesona
Masuk kompeni pergi melanda

Raja Akil menjalin persahabatan dengan saudara sepupu dan ipar KA. Mohammad Hatam sebagai bagian dari siasat liciknya. KA. Mohammad Hatam dibunuh pada saat sedang tidur tetapi putra Raja Balok VII KA Rahad berhasil lolos dan luput dari serangan pasukan aliansi Raja Akil. Masa pemerintahan KA Hatam dari 1785 hingga 1813 atau kurang lebih 27 tahun. Saat itu K.A. Rahad berumur 15 tahun beserta saudara-saudaranya melarikan diri dan membuat tempat kediaman di daerah Sungai Mending (Kembiri).

KA.Hatam dimakamkan di komplek makan Cerucuk atau disebut Situs Kota Tanah Cerucuk. Terdapat 14 makam yang merupakan makam keluarga Raja Balok. Diantara makam-makam tersebut terdapat dua makam Raja Balok, yaitu KA Mohammad Hatam yang bergelar Depati Tjakraninggrat VII (1758-1815) dan Ki Agus Mohammad Saleh yang bergelar Depati Tjakraninggrat IX (1856-1873).

KA Hatam didampingi istrinya Nyi Ayu Embi yang menurunkan 3 (tiga) putera dan 5 (lima) puteri yakni :
1. K.A. Ancun
2. Nyi Ayu Ketak
3. Nyi Ayu Kunut
4. Nyi Ayu Kuni
5. Nyi Ayu Nerulit
6. K.A. Rahad
7. K.A. Mohamad Saleh
8. Nyi Ayu Kuning

Sepeninggalan Depati Tjakraninggrat VII, untuk melanjutkan pemerintahan diangkatlah Ki Agus Rahad sebagai Depati Tjakraninggrat VIII. KA.Rahad memerintah pada tahun 1821 hinggga 1854 yang berkedudukan di Kota Tanah Cerucuk, namun baru dilantik pada tanggal 1 Juli 1838. (tanggal tersebut selanjutnya dijadikan Hari Jadi Kota Tanjungpandan).

Beliau memindahkan Pusat Pemerintahan dari Kota Tanah Cerucuk ke Tanjung Gunung (Hotel Dian sekarang). Selain memindahkan pusat pemerintah. Ki Agus Rahad berperan dalam mengubah Sistem Tambang Sumur Palembang menjadi Sistem Parit yang berpusat di Air Siburik dan Lesung Batang. Dan di masa GMB beliau membentuk sebuah Yayasan Rakyat Belitung.

Asisten Residen JLE Schepern dalam laporan politiknya mengakui bahwa wibawa dan pengaruh Ki Agus Rahad memang besar dilingkungan rakyat Belitung. Itulah sebabnya ketika Belanda mulai membangun kekuasaan di Belitung tanpa mengindahkan hak-hak yang sah Ki Agus Rahad dan para bangsawan Belitung lainnya, kekacauan melanda pulau ini.

Depati Tjakraninggrat VIII Kiai Agus Rahad bertempat tinggal di Tanjung-Gunung. Tempat dimana Kiai Agus Rahad bersembunyi dari tragedi pembunuhan Romo-nya. Beliau sempat terkena tikaman, tetapi beruntung lukanya tidak berbahaya. Sejak saat Tanjung-Pandan dikembangkan dan menjadi pusat Belitung saat itu. Bekas-bekas upaya beliau membangun daerah dapat dilihat dari hidupnya pohon-pohon manggis, durian, dan kelapa-kelapa, yang ditempati Veldpolitie sekarang ini. Pada 1838 Ki Agus Rahad menetap di Tanjung Simba

Asisten Residen JLE Schepern dalam laporan politiknya mengakui bahwa wibawa dan pengaruh Ki Agus Rahad memang besar dilingkungan rakyat Belitung. Bangsa asing dalam waktu-waktu tertentu mengirim wakil-wakil mereka untuk mengamati Pulau Belitung. Belanda mulai membangun kekuasaan di Belitung tanpa mengindahkan hak-hak yang sah Ki Agus Rahad dan para bangsawan Belitung lainnya, kekacauan melanda pulau ini.

Pada tahun 1822, bala tentara Hindia Belanda mendirikan benteng pertahanannya di Tanjung Gunung (bagian selatan Tanjungpandan sekarang). Keberadaan benteng di Tanjungpandan menunjukkan upaya Belanda melindungi kepentingannya di Pulau Belitung. Benteng Kuehn adalah benteng yang didirikan pertama kali oleh tentara Hindia Belanda yang berfungsi sebagai markas tentara sekaligus benteng pertahanan untuk mengawasi situasi perairan di sekitar Tanjungpandan. Benteng ini difungsikan sejak tahun 1823 – 1826. Sayangnya kondisi benteng hingga saat ini, hanyalah terlihat sisa pondasi saja.

Tepat 1 Juli 1838, Ki Agus Rahad akhirnya dilantik sebagai Depati Tjakraninggrat VIII. Ini merupakan bentuk pengakuan Belanda. Tanggal tersebut selanjutnya dijadikan Hari Jadi kota Tanjungpandan. Berdasarkan officieel Pemerintah Barat didalam tahun 1835, Kiai Agus Rahad ditetapkan sebagai Depati Tjakraninggrat (Wettige Depati). Kemudian didalam tahun 1838 diberikan lagi tulage f.600,-- bersama 81½ picol beras dan 90 picol garam, tiap-tiap tiga bulan sekali mengambilnya dari Tuan Kongsi Toboali (Bangka) yang dianggap keperluan bagi perahu-perahu Kruis, dan menjaga keamanan Pulau Belitung, yang sering didatangi musuh-musuh, perampok, dan lanun, bajak sulok dan lain-lain.

Selain mengembangkan pusat pemerintah K.A.Rahad berperan dalam mengubah Sistem Tambang Sumur Palembang menjadi Sistem Parit yang berpusat di Air Siburik dan Lesung Batang. Dan di masa GMB beliau membentuk sebuah Yayasan Rakyat Belitung. Pada masa pemerintahan Kiai Agus Rahad, wilayah pemerintahan dibagi kedalam 6 (enam) distrik, yaitu :

1. Tanjung-Pandan, dibawah Depati Tjakraninggrat
2. Sijuk, dibawah wewenang Ngabehi Jinal
3. Buding, dibawah wewenang Ngabehi Awang
4. Badau, dibawah Ngabehi Rachim
5. Belantu, dibawah wewenang Ngabehi Draip
6. Lenggang, jadi satu dengan Distrik Tanjung-Pandan.

Distrik Lenggang dikuasakan kepada saudara Kiai Agus Lusoh. Peraturan tersebut ditetapkan Depati Tjakraninggrat VI, didalam tulisan “Titah Depati” pada Kiai Agus Munti menjadi Punggawa wakil Kiai Depati Belitung.

Diserahkan sebidang tanah yang terletak di District Lenggang kepada rakyatnya didalam batas itu, kemudian hasil dari pengolahan tanah dikenakan pajak termasuk hutan di distrik tersebut. Hal ini untuk diberikan kembali ke pegawai-pegawai pemerintahannya karena mereka tidak mendapat gaji dari Pemerintah Barat. Pemberian sebidang tanah di Distrik Lenggang pernah diterima Depati Tjakraninggrat VII yang tak lain ipar Kiai Agus Munti anak Depati Tjakraninggrat V, dan berhak memungut hasil bumi dan hasil hutan di distrik tersebut, serta mengatur rakyat untuk bekerja di ladang milik Depati.

Pada tahun 1852 konsesi Belanda diberikan dan Belitung dipisahkan dari Bangka. Dalam soal administrasi dan kewenangan penambangan timah, pemisahan ini adalah hasil desakan J.F Loudon (Kepala pemerintah pusat di Batavia). Hal ini untuk mencegah kebijaksanaan pengaruh buruk dari Residen Bangka yang iri melihat pertambangan timah yang berkembang dengan pesatnya di Belitung.

Ki Agus Rahad meninggal tahun 20 April 1854 dalam usia 54 tahun (menurut pihak ahli waris pada usia 64 tahun). KA.Rahad mempunyai seorang putri bernama Nyanyu Kubu dari perkawinannya dengan Dayang Sawuk. Karena tidak mempunyai putera, beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Ki Agus Mohammad Saleh. Konon beliau ingin dikuburkan ditengah-tengah Pulau Belitung Berdasarkan cerita rakyat tersebutnya pencarian terhadap makam KA.Rahad mulai dilakukan. yang diperkiraan berada di Air Kurik (Kembiri, Membalong)

Kuburan beliau saat ini berada di Dusun Air Labu Desa Kembiri. Disampingnya terdapat makam istrinya. Karena tidak berputra Ki Agus Rahad digantikan dengan adiknya Ki Agus Mohammad Saleh yang kawin dengan Njai Tjiduk dan bertempat tinggal di Air Berutak. Selama hidupnya beliau telah mengalami banyak kejadian yang pahit dan tragis, beliau meninggal pada permulaan perubahan-perubahan besar dalam Pulau Belitung.