“ Mas, ndak apa-apa toh, kita hidup seadanya dulu” tutur perempuan ndeso. Rencana perkawinan mereka terkatung-katung sudah dua tahun terakhir. Orang tua Nunuk menginginkan agar Tejo menjadi pegawai tetap dahulu sebelum menikah.
****
Merekam peristiwa romantis di Mall tidak lah sulit apalagi di Malam Minggu seperti ini. “ Ma ..ma, pindah yuk, jangan dipojok…. berisik, Mentari nggak konsen nih makan Ma”. Bintang nama sulung Nadi sebaliknya berharap dua adiknya nggak rewel, siapa tahu mamanya jadi tertarik lagi dengan laki-laki. Restoran di Mall ini memang tidak pernah membuat partisi, mana ruang keluarga, mana ruang non keluarga, kecuali batas areal yang tidak dan boleh merokok. Manajemen restoran hanya mempertimbangkan gangguan asap rokok, tapi Mentari lebih dari itu. Dia tak ingin mendengar kelakar gombal yang mengelilingi keluarganya. Mentari yang masih kecil saja sesak nafas apalagi Mamanya. Empat anak beranak ini memang tak pernah berpikir suasana makan malam mereka akan terganggu seperti ini. “ Sudah-sudah yang penting kalian makan yang banyak, abang….kakak..adek ayo habiskan , entar ayamnya sedih.. gak kalian makan”. Nadi mencoba berfilsafat bahwa di dunia ini harus ada yang rela berkorban, jika tidak korban-korban akan bertambah terus.
Sebagian orang seperti juga orang tua Nunuk menganggap kekayaan materi dan kemapanan adalah dasar membina keluarga. “ Kalau dua tangan sudah disatukan beban berat akan terasa ringan” . Tulisan ini terbaca Nadi di etalase toko buku ketika mereka berkemas pulang. Hampir seluruh restoran franchise di Jakarta mengharuskan kalo mau makan harus bayar dulu, berbeda dengan restoran Padang pinggir jalan, makan dulu-bayar nanti. Orang Padang berpikir tidak bakalan menipu kalau sudah berurusan dengan perut. Kalau memang konflik karena urusan nafkah, kembalikan saja ke pepatah lama “ Bulek aik dek pambuluah, bulek kato dek mufakat - bulatnya air mengalir karena pembuluh bambu yang lurus, bulatnya kata karena ada mufakat. Namun zaman berganti tidak sedikit warung padang modern yang menghilangkan azas kekeluargaan dalam mencari dan memberi nafkah.
Tanpa disadari insomnia menggeroti Nadi, sebagian waktunya dihabiskan di kursi bis dan kursi kantor. Antara dua kursi dia memilih kursi bis sebagai tempat tidur. Praktis nyenyak tidur tergantung dengan tersedinya kursi kosong. Jadi merugilah perempuan ini kalau harus mengemudi sendiri. Kernet bis saja bisa mengumpat kasar dengan lalu lintas kota apalagi Nadi ………akan hilang aura kecantikannya. Belum lagi harus berbagi konsentrasi, lebih produktif kalau konsentrasi dialokasi untuk karirnya..”..toh ini periuk nasi ” jawaban Nadi kepada putranya ketika Bintang memohon agar mamanya pulang cepat agar Cinta adik bungsu dan Mentari bisa melihat mamanya pulang kerja.
Nadi berbagi kasih sayang antara suami, anak dan orang tua. Lama kelaman, suami Nadi cemburu, tak mau menerima ujian Tuhan. Dua tahun pacarannya hampir tidak dia ingat, Bram suami Nadi sungguh kecewa, kenapa Nadi tidak seperti dulu, berjalan berdua di Mall, nonton di bioskop 21 sambil meremas jari.
“ Bukan begitu bang, ini kan keluarga kamu juga, merawat orang tua sama seperti merawat anak kita, toh mereka sudah hidup bersama sejak kita menikah”. Tanpa disadari ungkapan Nadi menjadi titik awal perpecahan pasangan muda dengan tiga anak lucu-lucu. Hari-hari selanjutnya diisi pertengkaran, meski selalu dibungkus sekam. Perubahan Nadi dibaca si sulung, dia dikarbit keadaan hingga mengerti pertengkaran orang tuanya. Tapi si Tembem dan kakaknya, hanya paham orangtuanya sibuk bekerja , titik….. itu saja.
Kehidupan hambar dijalani keluarga kecil ini sudah berlangsung dua tahun, sebelum akhirnya…..pleg..pleg lunglai seperti ayam terkena sampar. Nadi mencoba setia dengan kehidupan. Sebetulnya Bram juga tidak punya kekasih gelap. Keduanya yakin hanya cinta segitiga yang membuat orang tak ramah dengan lembaga perkawinan. Sama sekali Bram-Nadi tak menyangka orang ketiga itu telah diturunkan Tuhan lewat kedua orangtuanya. Setulnya ketiga sisi tidak sama besar, sebagai anak sudah wajar menopang keadaan orang tua dimasa senja. Bram juga seperti itu, dia bahkan manja sekali dengan Mamanya. Kalau tidak dengan anak-anak, Bram pergi sendiri mengadu, mengeluh dengan Mama tempat bermanja.
Nadi tak pernah jera dengan kehidupan tak berpihak, jalan sudah dilewati tak mungkin kembali. Nadi terus menjaga denyut agar tak berhenti untuk orangtuanya, untuk ketiga anaknya yang diharapkan tumbuh besar seperti kutilang, terbang bebas, menyenandung merdu disela daun-daun hijau.
“Ya Tuhanku jadikan anak-anakku lebih mengerti hidup, beri mereka kekuatan untuk melawan keadaan tapi jangan Kau lupakan, Tuhanku Yang Maha Pemurah memberikan keseimbangan diantara tiga pilar kehidupan nanti “ ungkap Nadi dalam do’a dan catatan kecilnya. (Fithrorozi)