Saturday, July 5, 2008

Nadiku Tak Pernah Berhenti

“ Bang genggam tanganku”, pinta perempuan itu dengan manja kepada pasangannya. Sudah sejak jam empat sore Sri dan Bahar menikmati jalan-jalan, prosedur kemesraan yang sudah lima tahun ini menjadi simbol hubungan mereka. Bukan cuma Bahar-Sri, muda-mudi lain bahkan pasangan berumur menggandeng mesra pasangan masing-masing di tengah hilir mudik pengunjung Mall besar ibukota ini.
“ Mas, ndak apa-apa toh, kita hidup seadanya dulu” tutur perempuan ndeso. Rencana perkawinan mereka terkatung-katung sudah dua tahun terakhir. Orang tua Nunuk menginginkan agar Tejo menjadi pegawai tetap dahulu sebelum menikah.

****

Merekam peristiwa romantis di Mall tidak lah sulit apalagi di Malam Minggu seperti ini. “ Ma ..ma, pindah yuk, jangan dipojok…. berisik, Mentari nggak konsen nih makan Ma”. Bintang nama sulung Nadi sebaliknya berharap dua adiknya nggak rewel, siapa tahu mamanya jadi tertarik lagi dengan laki-laki. Restoran di Mall ini memang tidak pernah membuat partisi, mana ruang keluarga, mana ruang non keluarga, kecuali batas areal yang tidak dan boleh merokok. Manajemen restoran hanya mempertimbangkan gangguan asap rokok, tapi Mentari lebih dari itu. Dia tak ingin mendengar kelakar gombal yang mengelilingi keluarganya. Mentari yang masih kecil saja sesak nafas apalagi Mamanya. Empat anak beranak ini memang tak pernah berpikir suasana makan malam mereka akan terganggu seperti ini. “ Sudah-sudah yang penting kalian makan yang banyak, abang….kakak..adek ayo habiskan , entar ayamnya sedih.. gak kalian makan”. Nadi mencoba berfilsafat bahwa di dunia ini harus ada yang rela berkorban, jika tidak korban-korban akan bertambah terus.
****
Sudah setahun terakhir Nadi menikmati hasil perjuangannya menghentikan jatuhnya korban. Dia sendiri mengurus perceraian karena suami benar-benar tidak peduli dengan urusan rumah tangga. Gaji yang besar, karir yang gemilang dan kemesraan yang mereka jalani selama dua tahun dimasa pacaran tidak bisa menjamin keutuhan rumah tangga. Keluarga mereka jatuh berkeping justru ketika Tuhan menguji pasangan muda ini lewat kakek-nenek dari anak-anak mereka sendiri yang praktis adalah keluarga mereka juga. Orang tua Nadi membutuhkan belaian kasih sayang anaknya karena penyakit yang diderita. Nadi, seperti juga manusia didunia tentu menginginkan hidup dengan sehat, tapi siapa sangka Tuhan memberikan coban hambanya dengan cara yang tidak pernah mereka pikirkan .
Sebagian orang seperti juga orang tua Nunuk menganggap kekayaan materi dan kemapanan adalah dasar membina keluarga. “ Kalau dua tangan sudah disatukan beban berat akan terasa ringan” . Tulisan ini terbaca Nadi di etalase toko buku ketika mereka berkemas pulang. Hampir seluruh restoran franchise di Jakarta mengharuskan kalo mau makan harus bayar dulu, berbeda dengan restoran Padang pinggir jalan, makan dulu-bayar nanti. Orang Padang berpikir tidak bakalan menipu kalau sudah berurusan dengan perut. Kalau memang konflik karena urusan nafkah, kembalikan saja ke pepatah lama “ Bulek aik dek pambuluah, bulek kato dek mufakat - bulatnya air mengalir karena pembuluh bambu yang lurus, bulatnya kata karena ada mufakat. Namun zaman berganti tidak sedikit warung padang modern yang menghilangkan azas kekeluargaan dalam mencari dan memberi nafkah.
****
Bintang dan Mentari sejak tadi pagi berkemas, tidak sulit membangunkan keduanya, mereka tahu diri siapa ibu mereka. Buat apa merengek dipasangkan baju seragam, ibunya juga tidak pernah merenggek-merengek hidup sendiri. Pekerjaan laki-laki bahkan diambil alih. Sejak berpisah dengan suami, iklim kemandirian menyelimuti keluarga kecil ini, kecuali adek kecil yang belum bisa dibesarkan dengan iklim asing seperti itu. Pipi tembem menandakan dia memanjakan dirinya, rambut ikal jatuh bebas. Kalo memang sudah kelewat batas, neneknya membatasi. Tugas mengawasi si bungsu beralih peran dari Nadi ke nenek tanpa diketahui sang pemangku kepentingan. Sungkan untuk membangunkan si bungsu untuk pamitan, karena Nadi harus mengejar Bis menuju Jakarta, tetapi kasih sayang sudah ditransfer Nadi ke ibunya. Peran ganda dua perempuan di rumah BTN ini amat terasa, terutama sepeninggalkan pemberi nafkah keluarga ini.
****
Di siang hari penduduk Jakarta jauh lebih padat, daerah hinterland Tanggerang, Depok, Bogor mengepung dari Utara-Selatan,Timur-Barat. Di pinggiran Jakarta mereka tentramkan keluarga, tapi di ibukota mereka mengeksploitasi peluh. Sebetulnya Nadi bisa saja menyopir sendiri dari pinggiran Jakarta ke jantung ibukota, tempat dia bekerja. Tapi akan merugi. Sejak penyakit bapaknya datang menguji, Nadi lah yang menemani Bapak ngobrol. Pak Imam tak bisa apa-apa, apalagi memimpin ekonomi keluarga seperti dulu dia membesarkan anak-anaknya. Kali ini dia butuh dua perempuan di rumah yang ditumpangi bersama sang istrinya.
Tanpa disadari insomnia menggeroti Nadi, sebagian waktunya dihabiskan di kursi bis dan kursi kantor. Antara dua kursi dia memilih kursi bis sebagai tempat tidur. Praktis nyenyak tidur tergantung dengan tersedinya kursi kosong. Jadi merugilah perempuan ini kalau harus mengemudi sendiri. Kernet bis saja bisa mengumpat kasar dengan lalu lintas kota apalagi Nadi ………akan hilang aura kecantikannya. Belum lagi harus berbagi konsentrasi, lebih produktif kalau konsentrasi dialokasi untuk karirnya..”..toh ini periuk nasi ” jawaban Nadi kepada putranya ketika Bintang memohon agar mamanya pulang cepat agar Cinta adik bungsu dan Mentari bisa melihat mamanya pulang kerja.
****
Nadi berbagi kasih sayang antara suami, anak dan orang tua. Lama kelaman, suami Nadi cemburu, tak mau menerima ujian Tuhan. Dua tahun pacarannya hampir tidak dia ingat, Bram suami Nadi sungguh kecewa, kenapa Nadi tidak seperti dulu, berjalan berdua di Mall, nonton di bioskop 21 sambil meremas jari.
“ Bukan begitu bang, ini kan keluarga kamu juga, merawat orang tua sama seperti merawat anak kita, toh mereka sudah hidup bersama sejak kita menikah”. Tanpa disadari ungkapan Nadi menjadi titik awal perpecahan pasangan muda dengan tiga anak lucu-lucu. Hari-hari selanjutnya diisi pertengkaran, meski selalu dibungkus sekam. Perubahan Nadi dibaca si sulung, dia dikarbit keadaan hingga mengerti pertengkaran orang tuanya. Tapi si Tembem dan kakaknya, hanya paham orangtuanya sibuk bekerja , titik….. itu saja.
Kehidupan hambar dijalani keluarga kecil ini sudah berlangsung dua tahun, sebelum akhirnya…..pleg..pleg lunglai seperti ayam terkena sampar. Nadi mencoba setia dengan kehidupan. Sebetulnya Bram juga tidak punya kekasih gelap. Keduanya yakin hanya cinta segitiga yang membuat orang tak ramah dengan lembaga perkawinan. Sama sekali Bram-Nadi tak menyangka orang ketiga itu telah diturunkan Tuhan lewat kedua orangtuanya. Setulnya ketiga sisi tidak sama besar, sebagai anak sudah wajar menopang keadaan orang tua dimasa senja. Bram juga seperti itu, dia bahkan manja sekali dengan Mamanya. Kalau tidak dengan anak-anak, Bram pergi sendiri mengadu, mengeluh dengan Mama tempat bermanja.

****
Di Sabtu seperti ini biasanya pengujung Mall akan membludak, masih seperti dulu ketika Nadi dan Bram masih bersama. Hanya saja kini Nadi sudah sendiri. Berjalan menghibur diri, menjaga keseimbangan diantara outlet kosmopolitan. Nadi tidak lagi tergiur dengan pernak-pernik accesories kecantikan apalagi mengulang memori di restoran tingkat dua itu. Nadi memanfaatkan sedikit waktu sepulang kerja, melihat buku-buku yang baru terbit. Ini Mas, pramuniaga menunjuk buku di gerai best Seller, ada “AYAT-AYAT CINTA”. Tapi nadi tidak seperti Nadine, yang tak fasih bicara I Love You. Nadi tidak tidak berhenti memikul beban meski hanya lingkup keluarga, soal I Love You dia hanya bersuara dalam hati.

Nadi tak pernah jera dengan kehidupan tak berpihak, jalan sudah dilewati tak mungkin kembali. Nadi terus menjaga denyut agar tak berhenti untuk orangtuanya, untuk ketiga anaknya yang diharapkan tumbuh besar seperti kutilang, terbang bebas, menyenandung merdu disela daun-daun hijau.
“Ya Tuhanku jadikan anak-anakku lebih mengerti hidup, beri mereka kekuatan untuk melawan keadaan tapi jangan Kau lupakan, Tuhanku Yang Maha Pemurah memberikan keseimbangan diantara tiga pilar kehidupan nanti “ ungkap Nadi dalam do’a dan catatan kecilnya. (Fithrorozi)

No comments: