Monday, November 26, 2007

REVITALISASI PERMAINAN ANAK SEBAGAI PERISAI BUDAYA GLOBAL

” Si Budi kecil kurus menggigil,..koran tadi pagi dijual sore.....soal dari sekolah selesai setengah...sanggupkah si Budi diam di dua sisi. Cuplikan lirik lagu Iwan Fals ini menggambarkan begitu banyak anak kota yang hak bermainnya dirampas dan terlantar demi mendapatkan penghasilan. Bagi anak kota berdagang di jalanan (asongan) adalah kenyataan dan dinamika hidup yang harus dijalani. Kalau tidak menjadi tempat bermain, jalanan menjadi tempat berjuang. Meski berdagang telah menjadi keseharian, anak-anak tidak banyak tahu soal permainan dagang yang didalangi pengusaha-pemodal besar yang menjadi ciri ekonomi global. Hak-hak bermain yang justru menjadi indikator perkembangan anak menuju masa depan. Ironisnya banyak usia produktif tidak mampu mencari pekerjaan.

Hutan rimba telah berganti dengan rimba gedung (concrete jungle), bahkan anak kota susah membedakan mana kerbau mana sapi. Sementara di kampung kami, alam menjadi sahabat anak sekaligus guru yang mengajarkan kearifan, cara bertahan dan berproses yang justru tidak diajarkan di bangku sekolah. Semua itu dinikmati dengan leluasa. Kemurahan alam membuat anak-anak kampung lebih mudah berkreasi dibandingkan anak kota yang sarat dengan adegan kekerasan dan tekanan.

Dalam Konvensi Hak Anak (berusia 18 tahun kebawah), bermain dan mencapai kesenangan adalah hak perkembangan anak yang perlu dilindungi. Tiga dari empat tema hak anak lainya meliputi Hak SURVIVAL yaitu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak; Hak PARTISIPASI yakni hak untuk bebas dalam mengemukakan pendapat dan bersuara berkaitan dengan kehidupan anak dan hak untuk mengkomunikasikan pandangannya untuk mendapatkan perhatian serius dan hak PROTEKSI, hak perlindungan diberikan kepada anak-anak yang masuk dalam kategori : pengungsi, korban konflik, anak tanpa orang tua dan sebagainya.

Masyarakat perdesaan dikenal dengan masyarakat agraris. Dimana sumberdaya alam mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi. Dengan demikian kerusakan alam akan berpengaruh terhadap pola hidup yang mereka jalani. Pun demikian dengan perkembangan anak. Perlindungan terhadap hak anak dalam mencapai kesenangan sama artinya dengan melindungi wilayah permainannya, yang tak lain alam itu sendiri. Perubahan alam yang drastis menimbulkan kejutan budaya bagi anak. Pola permainan menjadi lebih reaktif.

Kreativitas di waktu luang

Dalam benak anak tiada hari tanpa bermain, mencari kesenangan. Kesenangan itulah yang menjadi dasar bepikir positif yang mendorong perkembangan kreativitas anak. Untuk bermain di alam bebas, masyarakat kota mengikutsertakan anak-anaknya dalam Program Outbound yang tumbuh menjamur. Itupun baru bisa dilakukan jika masa liburan anak bersamaan dengan masa libur orang tua. Keterbatasan ini menjadi peluang usaha. Pengelola Pondok Indah Mall, Jakarta bahkan menyewakan dinding bangunan untuk handholds panjat tebing. Orang tua berbelanja anak bermain.

Di kampung, permainan itu harus diciptakan dan digagas sendiri mulai dari alat, aturan dan jumlah pemain. Lebih dari itu sebuah permainan harus bisa diikuti teman-teman hingga membentuk kelompok bermain (kid’s club). Adapun bentuk permaian disesuaikan dengan waktu dan kondisi lingkungan. Jika musim hujan mereka menciptakan bermain kapal-kapalan yang dirancang sendiri dari pelepah sagu. Begitupun dimusim kering, halaman yang luas adalah surga bermain. Dor name (perang-perangan), pancak (batu bersusun), bepangkak (mengadu buah karet), main juai (egrang), pengangin (baling-baling penentu arah angin) adalah bagian dari permainan dimana alatnya diciptakan sendiri yang didapatkan langsung dari alam atau memanfaatkan barang-barang bekas. Ada mobil-mobilan yang menggunakan kelahar ataupun memanfaatkan papan kas membuat pistol-pistolan. Jarang sekali orang dewasa membatasi meski sekedar mengawasi . Karena sifatnya yang tradisional, orang dewasa pun pernah melakukannya di masa kecil.Bagi Budiarti S.Sos-kini menjadi wakil rakyat, permainan masa kecil di Membalong bukan hanya menawarkan kesenangan tapi juga melatih anak untuk bersikap jujur. Untuk bermain bidok atau permainan kepala ular yang dibentuk dari susunan buah kemiri harus terlebih dulu direndam, yang tidak berisi harus dibuang dan disaksikan semua pemain.. Itupun harus disaksikan seluruh pemain.Akan mengasyikkan jika lebih dari 3 (tiga) orang yang bermain. Dilihat dari keluasan lahan dan sumberdaya alam yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kecamatan lain. Membalong memiliki potensi permainan anak tradisional yang cukup kaya. Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata Budaya.

Umumnya permainan anak tradisional mendorong perkembangan physicomotoric dan afektif (sikap). Permainan anak laki-laki cenderung diluar ruang, eksploratif dan koordinatif. Unsur-unsur permainan tersebut mengembangkan ini yang meSelama permainan terlihat bagaimana mereka berorganisasi. Hal yang berbeda dari anak perempuan. Ketekunan dan ketelitian yang menjadi ciri anak perempuan mempengaruhi jenis-jenis permainannya seperti main bekel dari bola yang dibuat dari getah pohon karet, main cangkul (mengambil satu diantara tumpukan lidi) atau main icak-icakan (mendesain interior ruang dalam pondasi rumah berpasir). Sedang permainan laki-laki yang memiliki unsur arsitektural antara lain nyerekap (perangkap burung yang terbuat dari tanaman apit-apit). Permainan anak tradsional berkembang seiring berkembangnya kemampuan anak dalam mengidentifikasi, memodifikasi dan mengadaptasi alam dan lingkungan sosial mereka.

Transformasi permainan tradisional
Pengaruh budaya global itu seperti cengkraman elang yang mengintip gerak-gerik ”anak ayam” negara berkembang. Pertanahan dari budaya global hanya mengandalkan pagar-pagar budaya dalam jalinan tradisi masyarakat. Tak bisa menolak produk asing apalagi dengan membakar barang-barng impor seperti peristiwa Malari. Pengalaman berbangsa menuntun kita melakukan transformasi budaya. ” Untuk memenangkan permainan dibutuhkan strategi yang memadukan masa lalu dan masa depan. Permainan harus memperhatikan jejak sekaligus mengatur langkah ke depan. Kata kuncinya adalah keseimbangan dan bridge adalah bagian dari keseimbangan itu ”. Apa yang dikemukan Ir.Nazalyus dalam diskusi sore itu menginspirasikan penulis mencari bentuk transformasi permainan tradisional namun berwawasan global.

Aturan dasar dalam pertandingan bridge ataupun gaple adalah susunan. Merubah aturan pertandingan kedalam permainan tentu menyenangkan bagi anak apalagi menggunakan gambar. Karenanya kartu gaple dapat dijadikan media pendidikan dan jembatan menuju pengetahuan global (berbahasa Inggris). Kartu gaple dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama berisi gambar dan bagian dibawahnya teks yang menerangkan gambar. Kartu yang lain dijadikan penghubung bertulis kosa kata Bahasa Inggris. Semakin banyak vocabulary yang dikuasi semakin banyak pula kartu yang diciptakan. Setiap paket permainan terdapat kartu yang berfungsi ganda seperti jocker dalam permainan kartu remi.

Masing-masing daerah memiliki jenis permainan yang dimodifikasi sesuai kondisi lingkungan demikian juga dengan nama permainan. Keunikan tersebut membangun karakter atau tradisi masyarakat lokal. Tanpa disadari anak-anak telah menjadi pejuang hak-hak komunal (comunaal recht) yang menjadi perisai budaya dari serangan pasar bebas yang serakah. Produk-produk impor yang cepat rusak (windfall product) umumnya memanfaatkan emosi anak terhadap warna dan bentuk selain penyeragaman selera yang memungkin produksi masal dapat diserap anak-anak. Perkembangan dunia telematika (telekomunikasi, informatika dan multimedia) mendorong rasa ingin meniru, rio madu rio kumbang (demonstrative effect).

Sementara permainan tradisional diciptakan oleh anak itu sendiri dimana kemampun ber-produksi mengurangi keinginan ber-konsumsi.

Lebih dari itu, pasar bebas telah menyerang dunia pendidikan dasar kita melalui komersialisasi. Anak dituntut mengejar nilai kompetitif kognitif dengan cara instan. Transformasi budaya ini diharapkan tidak terbatas pada permainan ” Gaple Kosakata” saja tetapi menyentuh pada perubahan sikap anak. Anak memiliki hak untuk tahu dan mengerti, jangan mereka dibangun dengan pemikiran negatif, ” Itu tidak, ini jangan dan itu tidak baik”.

Ditulis dalam rangka Hari Anak Nasional

POSISI PEMUDA DALAM DINAMIKA GLOBAL DAN LOKAL

(Disampaikan Dalam Sarasehan Pemuda, DPD KNPI Kabupaten Belitung
Tanjungpandan, 25 Oktober 2007)

Desa Parang Bulo berjarak kurang lebih 25 km dari Pusat Kota Tanjungpandan, Desa yang ditetapkan pemerintah sebagai bagian dari Kawasan Agropolitian ini, bisa jadi mewakili desa-desa lain di Kabupaten Belitung yang memiliki wariosan budaya yang masih asli (indigeneous)

Kepala kampong yang biasa disebut Dukun Kampong memiliki Balai Dukun, pondok kecil yang digunakan masyarakat untuk menyerahkan makanan yang akan dihidangkan dalam resepsi perkawinan. Si empunya hajat menyerahkan jumlah hidangan, jenis hidangan dan perangkat hidangan kepada dukun kampong. Dukun tidak hanya menerima informasi tetapi mengikat informasi jumlah,jenis, dan perangkat hidangan itu menjadi komitmen yang harus ditaati. Alhasil, jika ada makanan yang dihidangkan tidak sesuai dengan apa yang disajikan di Balai Dukun maka hidangan akan rusak, akan menjadi petaka bagi tuan rumah dan bagi tamu yang menikmatinya. Begitupun tuan rumah tidak bisa menambah jumlah hidangan.

Peran Budaya Dalam Penyelenggaraan Pemerintah

Bagi masyarakat di luar desa, kepercayaan semacam itu dianggap terlalu kaku ”membahayakan” program pembangunan bahkan hubungan sosial. Dalam suatu kesempatan bermusyawarah, dukun-dukun kampung di Belitung memberikan perhatian khusus agar tidak terlalu kaku menerapkan ilmu perdukunannya. Maklum saja ketika itu pemerintah merencanakan untuk mendatangkan transmigran dari Jawa membuka lahan pertanian (masing-masing dua hektar) di Kecamatan Membalong.

Dalam dunia perdukunan dikenal dua aliran, yakni perdukunan setara guru dan perdukunan malaikat. Masing-masing aliran menjalankan konsep kearifan tradisional (local wisdom) dan pengetahuan lokal (indigeneos knowledge) dengan cara yang berbeda-beda. Aliran Setara Guru menganggap kekuatan roh halus sebagai kekuatan sentral, dimana semua mahkluk hidup ada yang menguasai (Belitong : penunggu)., sebaliknya Aliran Malaikat menganggap kekuatan Allah (Tauhid Islam) menjadi sumber kekuatan dari kekuatan yang ada di bumi dan selalu mengawali langkah dengan menyebut nama Allah SWT , Bismillahirahmanirrahim.

Upaya untuk menata dinamika sosial masyarakat oleh dukung kampung dan kekuatan pemaksa melalui mitos-mitos ”Antu” dalam masyarakat Belitong, pada hahekatnya untuk memberikan keseimbangan hubungan manusia, alam dan makhluk halus.
Penataan dinamika sosial masyarakat itu sering disinonimkan dengan pembangunan. Dalam masyarakat tradisional dinamika sosial ditekankan pada keseimbangan hubungan. Hal yang berbeda, dalam pemahaman pembangunan modern saat ini, pembangunan lebih banyak menekankan subjek penyelenggaranya yakni pemerintah. Padahal hubungan sosial masyarakat itu jauh lebih komplek. Pemanggku kepetingan pembangunan itu meliputi pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta dan lembaga lain yang saling tarik menarik. Dalam kondisi tarik-menarik itu muncul anggapan bahwa pembangunan dikuasai oleh sebuah kekuatan, bukan lagi makhluk halus seperti Aliran Perdukunan Setara Guru atau kekuasaan Tuhan dalam Aliran Malaikat, tetapi oleh kekuatan politik massa.
Untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan pemerintah, United Nation Development Program ( UNDP), Badan PBB yang mengurusi pembangunan di negara berkembang. UNDP merekomendasikan karakteristik-karakteristik good governance sebagai berikut :

· participation dimana merujuk pada semua warga untuk mempunyai sesuatu yang sama dalam pengambilan keputusan, yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung;

· rule of law yang merujuk pada kerangka hukum yang harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu;

· transparency dimana seluruh proses pemerintahan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dan dibangun atas dasar arus informasi yang bebas sehingga meminimalisasi kesenjangan informasi (digital divide) antara penyaji dan pengakses informasi;

· responsiveness dimana lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah berupaya melayani setiap stakeholder sebagai penentu pertanggungjawaban,

· concensus orientation yang menjembatani kepentingan-kepentingan berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dan terbaik bagi kelompok masyarakat dalam hal kebijakan maupun prosedur, equity, kesetaraan bagi semua warga untuk menjaga kesejahteraan, rasa keadilan bersama-sama. pola kebijakan sentralistik, searah dan berasal dari atas (top down planning) mempersempit ruang publik (public sphere);

· effectiveness and efficiency lebih menunjuk pada proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumberdaya seoptimal mungkin;

· accountability, ditentukan dari sifat keputusan organisasi, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal; dan

· strategic vision, memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan budaya sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Untuk membuat visi strategis sangat diperlukan rencana strategis.

Sebetulnya apa yang direkomendasi oleh organisasi besar seperti PBB tidaklah berbeda jauh dengan nilai-nilai yang ingin dikedepankan dalam proses resepsi perkawinan adat di Desa Parang Bulo. Karakterisik itu hanya semacam metamorfosa dalam nilai-nilai tradisional masyarakat. Baik pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern yang mengedepankan tiga aspek pendidikan, yakni Kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (perubahan sikap) dan psiko motorik (tanggap) yang sudah dikaji mendalam dan diterapkan secara berkelanjutan. Sayangnya kajian terhadap masa lalu (adat tradisional) terputus dengan pemikiran masa depan, yang menganggap adat–budaya sudah kuno, discontinue. Menurut Sam Winerburg (Peraih The Frederic W.Ness Book Award), Anggapan budaya sebagai warisan usang oleh kehidupan modern ini disebabkan putusnya rantai sejarah masa lalu dan masa depan yang disebabkan oleh jangka pendek (periode lima tahunan). Pilih ” George Washington” atau tokoh kartun ”Bart Simpson” . Tidak masuk akal rasanya pendirian bangsa dipertentangkan dengan tokoh hiburan, tapi begitulah perdebatan seputar standar sejarah Amerika.

Sistem Pengendalian Sosial

Sistem pengendalian sosial, merupakan suatu kegiatan direncanakan maupun yang tidak direncanakan, untuk mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Walaupun tidaklah berarti bahwa pengendalian sosial senantiasa bertujuan untuk memaksa kaidah -kaidah dan nilai-nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi yang merupakan dalam masyarakat. (Soekanto, 1993).

Keberadaan hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasi serta memperlancar proses interaksi tersebut. Sayangnya peran hukum adat dalam pembangunan, seringkali dikalahakan oleh hukum formal. Hal ini sebetulnya disebabkan oleh masyarakat itu sendiri yang tidak mengerti adat, baik pengetahuan lokalnya maupun kearifan tradisionalnya.

Posisi Pemuda ?
Kelompok pemuda menopang struktur penduduk yang tidak hanya terjadi di Belitung tetapi juga di negara berkembang. Kelompok ini digolongkan kepada kelompok yang paling produktif. Dengan jumlah dan daya produktif yang cukup besar. Pemuda mudah digesekkan dinamika modernisasi. Konsumsi HP, kendaraan, fashion dan komoditas konsumtif lain yang timbul karena sikap pemuda yang selalu meniru (demonstrative effect), membuat gaya hidup dan ingin hidup dalam kelompoknya sendiri. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum-kaum kapitalise mempromosikan produk dengan mempropagandakan budaya konsumtif global . Generasi MTV begitu kelompok itu biasa disebut. Cara pemuda berperilaku (usage) ini diteruskan menjadi perilaku umum yang diberikan toleransi yang cukup besar oleh masyarakat sehingga membudaya yang tidak lagi melewati proses penataan kelakukan, adat istiadat dan lembaga sosial.

Nilai positif yang selalu dimiliki pemuda adalah optimis.

Percayakah kamu bisa memahami substansinya
dengan menanyakan tujuannya ?
Bisakah kamu menentukan citra rasa anggur
dengan melihat pada gentongnya
(Kahlil GibraN)


Wednesday, November 7, 2007

Perlawanan Dari Ruang Dapur

Pandangan tradisional telah menempatkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Setidaknya laki-laki berperan dalam menggerakan ekonomi keluarga. Pandangan ini menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Meskipun kemudian semakin bergeser seiring semakin banyak perempuan yang mengenyam pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi dari laki-laki. Menurut Trinh T. Minh-ha (1989) seperti yang dikutip Gadis Arivia. mengemukan bahwa dalam kasus representasi budaya perempuan selalu digambarkan dalam situasi tidak berdaya, bisu namun ”elok” untuk dipandang. Representasi perempuan dan tradisi bak “kebun binatang“ yang dilihat banyak orang. Dan seringkali pembahasan perempuan merupakan pembahasan imagined, apa yang difantasikan. Kita mungkin sering mendengar tokoh imajiner Ibu Pertiwi, Ratu Adil dan sebagainya. Penantian figur tersebut sangat tergantung fantasi kita. Biasanya perempuan dipersepsikan sebagai manusia tulus, cinta damai, dan menjadi tumpuan di kala duka.

Pengarusutamaan Jender

Dalam konferensi Dunia tentang Wanita IV di Beijing tahun 1995, telah menyepakati langkah-langkah bersama untuk mengatasi masalah kesenjangan antara wanita dan pria. Sikap diskriminatif yang didasari cara pandang terhadap perbedaan biologis ini sering disebut dengan istilah “jender”.

Keseriusan pemerintah memandang kedudukan perempuan diwujudkan dengan disahkannya UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Hak-hak perempuan pun merupakan hak asasi yang perlu dilindungi sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun karena kurangnya sosialisasi, perempuan masih saja berkutat pada wilayah domestik (rumah tangga) sehingga belum banyak berkiprah kedalam wilayah publik (forum atau lembaga).

Di Indonesia (1991) pekerja wanita menerima upah 40% lebih rendah dari laki-laki atau lebih buruk dibandingkan dengan pekerja wanita yang ada di Filipina dan Thailand. Padahal pengharusutamaan jender yang terjadi di Amerika Latin mampu meningkatkan upah pekerja wanita hingga 50%. Pandangan tradisional dan latar belakang pendidikan (human capital) terutama di perdesaan telah menghambat partisipasi perempuan dalam pembangunan Menurut Ginanjar Kartasasmita rendahnya produktivitas perempuan disebabkan oleh rendahnya penghargaaan terhadap kaum wanita sehingga alokasi sumberdaya lebih sedikit diberikan kepada kaum wanita.

Sayangnya dalam dunia modern sosok perempuan membuat gemas. Ketika perempuan menuntut keadilan, perempuan lain justru memikirkan hal-hal yang ‘sepele’ seperti berlomba mencari kosmetik impor, bergunjing soal perawatan kuku dan sebagainya. Kedudukan perempuan seperti dilemahkan oleh kaumnya sendiri.

Rendahnya pendidikan membuat perempuan mengekploitasi seksualitas meski tidak dipungkiri kehadiran mereka dijalanan ada yang bermotif menopang ekonomi keluarga. Ini diindikasikan dari adanya perubahan label masyarakat dari Wanita Tuna Susila (WTS) menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Sejarah kekerasan yang dimulai oleh Habil dan Kabil, menempatkan perempuan sebagai objek yang menggairahkan. Kalaupun wanita berkuasa itupun tidak pernah lepas dari simbol seks seperti Cleopatra yang menundukkan Julius Caesar. Disisi lain penjaja seks juga dianggap pelaku kriminal sehingga pemerintah menggunakan pendekatan keamaan dan ketertiban untuk memberantas penyakit masyarakat. Dalam penangananya seringkali tidak manusiawi.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan data LSM Perlindungan dan Pemberdayan Hak-Hak Perempuan (P2H2P) Bangka Belitung, pada tahun 2007 selama Januari-Juni saja korban KDRT yang ditangani LSM tersebut sudah mencapai 38 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KRDT) sebagaimana yang dikutip dari Harian Belitung Pos (30/6/2007).

Fenomena KDRT yang dilantunkan Betharia Sonata pernah dicap sebagai lagu cengeng oleh Menteri Penerangan Orde Baru kala itu yang menganggap ketidakberdayaan perempuan merupakan wujud masyarakat cengeng. Padahal kasus KDRT berdampak pada perkembangan generasi berikutnya.

Kenyataannya fenomena justru telah mendorong perhatian pemerintah terhadap kasus KDRT yang meningkat dari tahun ke tahun baik jumlah maupun tingkat kekerasannya. Kasus KDRT menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Di Kabupaten Belitung angka perceraian pada tahun 2002 terjadi 211 kasus perceraian, 213 kasus pada tahun 2003 dan meningkat cukup tinggi pada tahun 2004, yakni sebanyak 225 kasus. Perceraian dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak apalagi dengan dilatarbelakangi dengan tindak kekerasan.

Lembaga Perempuan

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mempersyaratkan kuota 30 persen bagi perempuan sebagai kandidat anggota parlemen pada Pemilu 2004. Kenyataannya sejak tahun 1955 hingga 2004 keberadaan perempuan di parlemen tidak pernah lebih dari 13 persen. Lembaga yang diharapkan mampu mengakomodir masalah perempuan, mengingat hak-hak perempuan seringkali diabaikan. Prof Dr.Saparainah Sadli dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan mengkrititasi adanya perspektif demografi yang menempatkan perempuan pada angka-angka statistik sehingga mereduksi hak-hak mendasar perempuan yakni hak reproduksi.

Keberadaan perempuan di lembaga legislatif tidak berbeda jauh dengan lembaga eksekutif. Padahal gerakan perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ir. Titik Yoestiati Darmansyah bahkan melihat forum penggajian bisa dioptimalkan sebagai bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Belitung. Prestasi ibu-ibu PKK dalam membina keluarga patut diacungkan jempol, puncaknya Ketua PKK Kabupaten Belitung mendapatkan penghargaan Manggala Karya Kencana pada Hari Keluarga Nasional (Harganas). Sebuah penghargaan yang menunjukkan peran strategis perempuan dalam membina rumah tangga. Partisipasi dan prestasi ibu-ibu PKK Kabupaten Belitung dalam pembangunan selama tahun 2005-2006 dapat diilihat seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel Prestasi PKK Kabupaten Belitung 2005-2006

No

Lomba

Tingkat

Wilayah

1

Lomba Kelurahan

Juara III Provinsi

Kelurahan Kota

2

Lomba Kesatuan PKK-KB-Kesehatan

Juara I Provinsi

Desa Pangkal Lalang

3

Lomba P2W-KSS

Juara II Provinsi

Desa Gunung Riting

4

Lomba Pengelola Bina Keluarga Balita

Juari I Provinsi

Desa Lesong Batang

5

Lomba Balita Kelompok Umur 6-24 bulan

Juara II Provinsi


6

Lomba Balita Kelompok Umur 2-5 tahun

Juara I Provinsi


7

Lomba UP2-PKK

Juara I Provinsi

Desa Seliu

8

Lomba Hatinya PKK

Juara II Provinsi

Desa Gunung Riting

9*

Lomba Desa

Juara I Provinsi

Desa Seliu

10*

Lomba Kesatuan PKK-KB-Kesehatan

Juara I Provinsi

Desa Buluh Tumbang

11*

Lomba Pengelola Bina Keluarga Balita

Juara I Provinsi

Desa Perawas

12*

Lomba APE Alternatif

Juara I Provinsi

Desa Lesung Batang

13*

Lomba UP2K-PKK

Juara I Provinsi

Desa Buluh Tumbang

14*

Lomba Masak 3B (Beragam,Bergizi,Berimbang)

Juara II Provinsi


15*

Lomba Desa

Juara I Provinsi

Desa Tanjungpendam

Sumber : Kantor PKK Kabupaten Belitung, * = tahun 2006

.

Meski demikian PKK masih sungkan untuk melibatkan diri pada kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Lebih banyak penyelesaian kasus dilakukan dengan pendekatan persuasif. Kepada para korban diberi nasehat atau himbauan, karena kasus yang terjadi dalam rumah tangga dianggap kasus internal yang tidak mungkin melibatkan orang luar dalam menyelesaikannya. Sebaliknya perempuan masih mengganggap ketergantungan (ekonomi) terhadap suami sangat tinggi karenanya lebih memilih pasrah menerima keadaan.

Selaian masalah sosial ekonomi perkotaan seperti diungkapkan diatas, PSK pun masih harus menghadapi bentuk-bentuk kekerasan yang menjadi simbol dinamika perkotaan. Menyadari dampak citra kota yang keras dan kejam-lebih kejam dari ibu tiri, perempuan kota seperti Yeni Rosa Damayanti, Gadis Arivia, Nurul Arifin, Diah Pita Loka, Wardah Hafid dan sebagainya membangun kekuatan sosial baru yang dilembagakan untuk melindungi hak perempuan mulai dari kesehatan reproduksi hingga marginalisasi akibat kemiskinan kota. Bahkan gerakan perempuan kota mampu membangun jaringan advokasi global.

Setidaknya gerakan perempuan perkotaan ini menjadi inspirasi tumbuhnya gerakan serupa di daerah khususnya menyangkut kekerasan dalam rumah tangga. Tentunya keberdayaan perempuan tidak bisa menunggu kemandirian ekonomi dan pendidikan mereka. Komnas Perempuan Indonesia Bagian Timur misalnya mendirikan Forum Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) untuk memotivasi kemandirian perempuan yang ditinggal suami ke Malaysia ataupun yang suaminya meninggal. Menariknya hampir semua anggota PEKA tidak bisa membaca dan menulis. Intinya kemandirian sosial perempuan berpulang kepada perempuan itu sendiri mendobrak sikap individualis yang turun temurun dibatasi oleh struktur, sistem sosial maupun kaidah ekonomi.

UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menekankan keberanian perempuan sebagai korban KDRT untuk melaporkan ke pihak berwenang hendaknya tidak berhenti pada tahap sosialisasi yang telah dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang bekerjasama dengan Dinas Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Belitung baru-baru ini. KDRT memang sudah menjadi persoalan bangsa yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan. Apalagi tak jarang berawal dan berujung pada kemiskinan.

Desakan adanya forum yang mampu menghapuskan KDRT didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, korban tindak kekerasan berharap ada orang lain yang bisa mendengar keluhannya (pihak luar lebih proaktif). Kedua, korban merasa berada dalam tekanan-ketidakberdayaan yang masih menggantungkan diri terhadap pasangannya. Jangan-jangan keterbukaan justru menambah persoalan dan dampaknya harus mereka tanggung. Ketiga, pihak ketiga menganggap kasus KDRT berada diwilayah domestik bukan wilayah publik.

Suatu ketika di bulan Januari 1900 R.A Kartini mengirim surat kepada Estelle Zeehandelaar, seorang perempuan yang banyak mempengaruhi pemikiran Kartini. ”Kau tahu motto hidupku? ’Aku mau’. Dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan.” Aku tidak mampu menyerah ’Aku mau’ mendaki gunung itu....” (*)