Monday, November 26, 2007

REVITALISASI PERMAINAN ANAK SEBAGAI PERISAI BUDAYA GLOBAL

” Si Budi kecil kurus menggigil,..koran tadi pagi dijual sore.....soal dari sekolah selesai setengah...sanggupkah si Budi diam di dua sisi. Cuplikan lirik lagu Iwan Fals ini menggambarkan begitu banyak anak kota yang hak bermainnya dirampas dan terlantar demi mendapatkan penghasilan. Bagi anak kota berdagang di jalanan (asongan) adalah kenyataan dan dinamika hidup yang harus dijalani. Kalau tidak menjadi tempat bermain, jalanan menjadi tempat berjuang. Meski berdagang telah menjadi keseharian, anak-anak tidak banyak tahu soal permainan dagang yang didalangi pengusaha-pemodal besar yang menjadi ciri ekonomi global. Hak-hak bermain yang justru menjadi indikator perkembangan anak menuju masa depan. Ironisnya banyak usia produktif tidak mampu mencari pekerjaan.

Hutan rimba telah berganti dengan rimba gedung (concrete jungle), bahkan anak kota susah membedakan mana kerbau mana sapi. Sementara di kampung kami, alam menjadi sahabat anak sekaligus guru yang mengajarkan kearifan, cara bertahan dan berproses yang justru tidak diajarkan di bangku sekolah. Semua itu dinikmati dengan leluasa. Kemurahan alam membuat anak-anak kampung lebih mudah berkreasi dibandingkan anak kota yang sarat dengan adegan kekerasan dan tekanan.

Dalam Konvensi Hak Anak (berusia 18 tahun kebawah), bermain dan mencapai kesenangan adalah hak perkembangan anak yang perlu dilindungi. Tiga dari empat tema hak anak lainya meliputi Hak SURVIVAL yaitu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak; Hak PARTISIPASI yakni hak untuk bebas dalam mengemukakan pendapat dan bersuara berkaitan dengan kehidupan anak dan hak untuk mengkomunikasikan pandangannya untuk mendapatkan perhatian serius dan hak PROTEKSI, hak perlindungan diberikan kepada anak-anak yang masuk dalam kategori : pengungsi, korban konflik, anak tanpa orang tua dan sebagainya.

Masyarakat perdesaan dikenal dengan masyarakat agraris. Dimana sumberdaya alam mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi. Dengan demikian kerusakan alam akan berpengaruh terhadap pola hidup yang mereka jalani. Pun demikian dengan perkembangan anak. Perlindungan terhadap hak anak dalam mencapai kesenangan sama artinya dengan melindungi wilayah permainannya, yang tak lain alam itu sendiri. Perubahan alam yang drastis menimbulkan kejutan budaya bagi anak. Pola permainan menjadi lebih reaktif.

Kreativitas di waktu luang

Dalam benak anak tiada hari tanpa bermain, mencari kesenangan. Kesenangan itulah yang menjadi dasar bepikir positif yang mendorong perkembangan kreativitas anak. Untuk bermain di alam bebas, masyarakat kota mengikutsertakan anak-anaknya dalam Program Outbound yang tumbuh menjamur. Itupun baru bisa dilakukan jika masa liburan anak bersamaan dengan masa libur orang tua. Keterbatasan ini menjadi peluang usaha. Pengelola Pondok Indah Mall, Jakarta bahkan menyewakan dinding bangunan untuk handholds panjat tebing. Orang tua berbelanja anak bermain.

Di kampung, permainan itu harus diciptakan dan digagas sendiri mulai dari alat, aturan dan jumlah pemain. Lebih dari itu sebuah permainan harus bisa diikuti teman-teman hingga membentuk kelompok bermain (kid’s club). Adapun bentuk permaian disesuaikan dengan waktu dan kondisi lingkungan. Jika musim hujan mereka menciptakan bermain kapal-kapalan yang dirancang sendiri dari pelepah sagu. Begitupun dimusim kering, halaman yang luas adalah surga bermain. Dor name (perang-perangan), pancak (batu bersusun), bepangkak (mengadu buah karet), main juai (egrang), pengangin (baling-baling penentu arah angin) adalah bagian dari permainan dimana alatnya diciptakan sendiri yang didapatkan langsung dari alam atau memanfaatkan barang-barang bekas. Ada mobil-mobilan yang menggunakan kelahar ataupun memanfaatkan papan kas membuat pistol-pistolan. Jarang sekali orang dewasa membatasi meski sekedar mengawasi . Karena sifatnya yang tradisional, orang dewasa pun pernah melakukannya di masa kecil.Bagi Budiarti S.Sos-kini menjadi wakil rakyat, permainan masa kecil di Membalong bukan hanya menawarkan kesenangan tapi juga melatih anak untuk bersikap jujur. Untuk bermain bidok atau permainan kepala ular yang dibentuk dari susunan buah kemiri harus terlebih dulu direndam, yang tidak berisi harus dibuang dan disaksikan semua pemain.. Itupun harus disaksikan seluruh pemain.Akan mengasyikkan jika lebih dari 3 (tiga) orang yang bermain. Dilihat dari keluasan lahan dan sumberdaya alam yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kecamatan lain. Membalong memiliki potensi permainan anak tradisional yang cukup kaya. Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata Budaya.

Umumnya permainan anak tradisional mendorong perkembangan physicomotoric dan afektif (sikap). Permainan anak laki-laki cenderung diluar ruang, eksploratif dan koordinatif. Unsur-unsur permainan tersebut mengembangkan ini yang meSelama permainan terlihat bagaimana mereka berorganisasi. Hal yang berbeda dari anak perempuan. Ketekunan dan ketelitian yang menjadi ciri anak perempuan mempengaruhi jenis-jenis permainannya seperti main bekel dari bola yang dibuat dari getah pohon karet, main cangkul (mengambil satu diantara tumpukan lidi) atau main icak-icakan (mendesain interior ruang dalam pondasi rumah berpasir). Sedang permainan laki-laki yang memiliki unsur arsitektural antara lain nyerekap (perangkap burung yang terbuat dari tanaman apit-apit). Permainan anak tradsional berkembang seiring berkembangnya kemampuan anak dalam mengidentifikasi, memodifikasi dan mengadaptasi alam dan lingkungan sosial mereka.

Transformasi permainan tradisional
Pengaruh budaya global itu seperti cengkraman elang yang mengintip gerak-gerik ”anak ayam” negara berkembang. Pertanahan dari budaya global hanya mengandalkan pagar-pagar budaya dalam jalinan tradisi masyarakat. Tak bisa menolak produk asing apalagi dengan membakar barang-barng impor seperti peristiwa Malari. Pengalaman berbangsa menuntun kita melakukan transformasi budaya. ” Untuk memenangkan permainan dibutuhkan strategi yang memadukan masa lalu dan masa depan. Permainan harus memperhatikan jejak sekaligus mengatur langkah ke depan. Kata kuncinya adalah keseimbangan dan bridge adalah bagian dari keseimbangan itu ”. Apa yang dikemukan Ir.Nazalyus dalam diskusi sore itu menginspirasikan penulis mencari bentuk transformasi permainan tradisional namun berwawasan global.

Aturan dasar dalam pertandingan bridge ataupun gaple adalah susunan. Merubah aturan pertandingan kedalam permainan tentu menyenangkan bagi anak apalagi menggunakan gambar. Karenanya kartu gaple dapat dijadikan media pendidikan dan jembatan menuju pengetahuan global (berbahasa Inggris). Kartu gaple dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama berisi gambar dan bagian dibawahnya teks yang menerangkan gambar. Kartu yang lain dijadikan penghubung bertulis kosa kata Bahasa Inggris. Semakin banyak vocabulary yang dikuasi semakin banyak pula kartu yang diciptakan. Setiap paket permainan terdapat kartu yang berfungsi ganda seperti jocker dalam permainan kartu remi.

Masing-masing daerah memiliki jenis permainan yang dimodifikasi sesuai kondisi lingkungan demikian juga dengan nama permainan. Keunikan tersebut membangun karakter atau tradisi masyarakat lokal. Tanpa disadari anak-anak telah menjadi pejuang hak-hak komunal (comunaal recht) yang menjadi perisai budaya dari serangan pasar bebas yang serakah. Produk-produk impor yang cepat rusak (windfall product) umumnya memanfaatkan emosi anak terhadap warna dan bentuk selain penyeragaman selera yang memungkin produksi masal dapat diserap anak-anak. Perkembangan dunia telematika (telekomunikasi, informatika dan multimedia) mendorong rasa ingin meniru, rio madu rio kumbang (demonstrative effect).

Sementara permainan tradisional diciptakan oleh anak itu sendiri dimana kemampun ber-produksi mengurangi keinginan ber-konsumsi.

Lebih dari itu, pasar bebas telah menyerang dunia pendidikan dasar kita melalui komersialisasi. Anak dituntut mengejar nilai kompetitif kognitif dengan cara instan. Transformasi budaya ini diharapkan tidak terbatas pada permainan ” Gaple Kosakata” saja tetapi menyentuh pada perubahan sikap anak. Anak memiliki hak untuk tahu dan mengerti, jangan mereka dibangun dengan pemikiran negatif, ” Itu tidak, ini jangan dan itu tidak baik”.

Ditulis dalam rangka Hari Anak Nasional

No comments: