Wednesday, November 7, 2007

Perlawanan Dari Ruang Dapur

Pandangan tradisional telah menempatkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Setidaknya laki-laki berperan dalam menggerakan ekonomi keluarga. Pandangan ini menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Meskipun kemudian semakin bergeser seiring semakin banyak perempuan yang mengenyam pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi dari laki-laki. Menurut Trinh T. Minh-ha (1989) seperti yang dikutip Gadis Arivia. mengemukan bahwa dalam kasus representasi budaya perempuan selalu digambarkan dalam situasi tidak berdaya, bisu namun ”elok” untuk dipandang. Representasi perempuan dan tradisi bak “kebun binatang“ yang dilihat banyak orang. Dan seringkali pembahasan perempuan merupakan pembahasan imagined, apa yang difantasikan. Kita mungkin sering mendengar tokoh imajiner Ibu Pertiwi, Ratu Adil dan sebagainya. Penantian figur tersebut sangat tergantung fantasi kita. Biasanya perempuan dipersepsikan sebagai manusia tulus, cinta damai, dan menjadi tumpuan di kala duka.

Pengarusutamaan Jender

Dalam konferensi Dunia tentang Wanita IV di Beijing tahun 1995, telah menyepakati langkah-langkah bersama untuk mengatasi masalah kesenjangan antara wanita dan pria. Sikap diskriminatif yang didasari cara pandang terhadap perbedaan biologis ini sering disebut dengan istilah “jender”.

Keseriusan pemerintah memandang kedudukan perempuan diwujudkan dengan disahkannya UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Hak-hak perempuan pun merupakan hak asasi yang perlu dilindungi sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun karena kurangnya sosialisasi, perempuan masih saja berkutat pada wilayah domestik (rumah tangga) sehingga belum banyak berkiprah kedalam wilayah publik (forum atau lembaga).

Di Indonesia (1991) pekerja wanita menerima upah 40% lebih rendah dari laki-laki atau lebih buruk dibandingkan dengan pekerja wanita yang ada di Filipina dan Thailand. Padahal pengharusutamaan jender yang terjadi di Amerika Latin mampu meningkatkan upah pekerja wanita hingga 50%. Pandangan tradisional dan latar belakang pendidikan (human capital) terutama di perdesaan telah menghambat partisipasi perempuan dalam pembangunan Menurut Ginanjar Kartasasmita rendahnya produktivitas perempuan disebabkan oleh rendahnya penghargaaan terhadap kaum wanita sehingga alokasi sumberdaya lebih sedikit diberikan kepada kaum wanita.

Sayangnya dalam dunia modern sosok perempuan membuat gemas. Ketika perempuan menuntut keadilan, perempuan lain justru memikirkan hal-hal yang ‘sepele’ seperti berlomba mencari kosmetik impor, bergunjing soal perawatan kuku dan sebagainya. Kedudukan perempuan seperti dilemahkan oleh kaumnya sendiri.

Rendahnya pendidikan membuat perempuan mengekploitasi seksualitas meski tidak dipungkiri kehadiran mereka dijalanan ada yang bermotif menopang ekonomi keluarga. Ini diindikasikan dari adanya perubahan label masyarakat dari Wanita Tuna Susila (WTS) menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Sejarah kekerasan yang dimulai oleh Habil dan Kabil, menempatkan perempuan sebagai objek yang menggairahkan. Kalaupun wanita berkuasa itupun tidak pernah lepas dari simbol seks seperti Cleopatra yang menundukkan Julius Caesar. Disisi lain penjaja seks juga dianggap pelaku kriminal sehingga pemerintah menggunakan pendekatan keamaan dan ketertiban untuk memberantas penyakit masyarakat. Dalam penangananya seringkali tidak manusiawi.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan data LSM Perlindungan dan Pemberdayan Hak-Hak Perempuan (P2H2P) Bangka Belitung, pada tahun 2007 selama Januari-Juni saja korban KDRT yang ditangani LSM tersebut sudah mencapai 38 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KRDT) sebagaimana yang dikutip dari Harian Belitung Pos (30/6/2007).

Fenomena KDRT yang dilantunkan Betharia Sonata pernah dicap sebagai lagu cengeng oleh Menteri Penerangan Orde Baru kala itu yang menganggap ketidakberdayaan perempuan merupakan wujud masyarakat cengeng. Padahal kasus KDRT berdampak pada perkembangan generasi berikutnya.

Kenyataannya fenomena justru telah mendorong perhatian pemerintah terhadap kasus KDRT yang meningkat dari tahun ke tahun baik jumlah maupun tingkat kekerasannya. Kasus KDRT menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Di Kabupaten Belitung angka perceraian pada tahun 2002 terjadi 211 kasus perceraian, 213 kasus pada tahun 2003 dan meningkat cukup tinggi pada tahun 2004, yakni sebanyak 225 kasus. Perceraian dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak apalagi dengan dilatarbelakangi dengan tindak kekerasan.

Lembaga Perempuan

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mempersyaratkan kuota 30 persen bagi perempuan sebagai kandidat anggota parlemen pada Pemilu 2004. Kenyataannya sejak tahun 1955 hingga 2004 keberadaan perempuan di parlemen tidak pernah lebih dari 13 persen. Lembaga yang diharapkan mampu mengakomodir masalah perempuan, mengingat hak-hak perempuan seringkali diabaikan. Prof Dr.Saparainah Sadli dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan mengkrititasi adanya perspektif demografi yang menempatkan perempuan pada angka-angka statistik sehingga mereduksi hak-hak mendasar perempuan yakni hak reproduksi.

Keberadaan perempuan di lembaga legislatif tidak berbeda jauh dengan lembaga eksekutif. Padahal gerakan perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ir. Titik Yoestiati Darmansyah bahkan melihat forum penggajian bisa dioptimalkan sebagai bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Belitung. Prestasi ibu-ibu PKK dalam membina keluarga patut diacungkan jempol, puncaknya Ketua PKK Kabupaten Belitung mendapatkan penghargaan Manggala Karya Kencana pada Hari Keluarga Nasional (Harganas). Sebuah penghargaan yang menunjukkan peran strategis perempuan dalam membina rumah tangga. Partisipasi dan prestasi ibu-ibu PKK Kabupaten Belitung dalam pembangunan selama tahun 2005-2006 dapat diilihat seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel Prestasi PKK Kabupaten Belitung 2005-2006

No

Lomba

Tingkat

Wilayah

1

Lomba Kelurahan

Juara III Provinsi

Kelurahan Kota

2

Lomba Kesatuan PKK-KB-Kesehatan

Juara I Provinsi

Desa Pangkal Lalang

3

Lomba P2W-KSS

Juara II Provinsi

Desa Gunung Riting

4

Lomba Pengelola Bina Keluarga Balita

Juari I Provinsi

Desa Lesong Batang

5

Lomba Balita Kelompok Umur 6-24 bulan

Juara II Provinsi


6

Lomba Balita Kelompok Umur 2-5 tahun

Juara I Provinsi


7

Lomba UP2-PKK

Juara I Provinsi

Desa Seliu

8

Lomba Hatinya PKK

Juara II Provinsi

Desa Gunung Riting

9*

Lomba Desa

Juara I Provinsi

Desa Seliu

10*

Lomba Kesatuan PKK-KB-Kesehatan

Juara I Provinsi

Desa Buluh Tumbang

11*

Lomba Pengelola Bina Keluarga Balita

Juara I Provinsi

Desa Perawas

12*

Lomba APE Alternatif

Juara I Provinsi

Desa Lesung Batang

13*

Lomba UP2K-PKK

Juara I Provinsi

Desa Buluh Tumbang

14*

Lomba Masak 3B (Beragam,Bergizi,Berimbang)

Juara II Provinsi


15*

Lomba Desa

Juara I Provinsi

Desa Tanjungpendam

Sumber : Kantor PKK Kabupaten Belitung, * = tahun 2006

.

Meski demikian PKK masih sungkan untuk melibatkan diri pada kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Lebih banyak penyelesaian kasus dilakukan dengan pendekatan persuasif. Kepada para korban diberi nasehat atau himbauan, karena kasus yang terjadi dalam rumah tangga dianggap kasus internal yang tidak mungkin melibatkan orang luar dalam menyelesaikannya. Sebaliknya perempuan masih mengganggap ketergantungan (ekonomi) terhadap suami sangat tinggi karenanya lebih memilih pasrah menerima keadaan.

Selaian masalah sosial ekonomi perkotaan seperti diungkapkan diatas, PSK pun masih harus menghadapi bentuk-bentuk kekerasan yang menjadi simbol dinamika perkotaan. Menyadari dampak citra kota yang keras dan kejam-lebih kejam dari ibu tiri, perempuan kota seperti Yeni Rosa Damayanti, Gadis Arivia, Nurul Arifin, Diah Pita Loka, Wardah Hafid dan sebagainya membangun kekuatan sosial baru yang dilembagakan untuk melindungi hak perempuan mulai dari kesehatan reproduksi hingga marginalisasi akibat kemiskinan kota. Bahkan gerakan perempuan kota mampu membangun jaringan advokasi global.

Setidaknya gerakan perempuan perkotaan ini menjadi inspirasi tumbuhnya gerakan serupa di daerah khususnya menyangkut kekerasan dalam rumah tangga. Tentunya keberdayaan perempuan tidak bisa menunggu kemandirian ekonomi dan pendidikan mereka. Komnas Perempuan Indonesia Bagian Timur misalnya mendirikan Forum Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) untuk memotivasi kemandirian perempuan yang ditinggal suami ke Malaysia ataupun yang suaminya meninggal. Menariknya hampir semua anggota PEKA tidak bisa membaca dan menulis. Intinya kemandirian sosial perempuan berpulang kepada perempuan itu sendiri mendobrak sikap individualis yang turun temurun dibatasi oleh struktur, sistem sosial maupun kaidah ekonomi.

UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menekankan keberanian perempuan sebagai korban KDRT untuk melaporkan ke pihak berwenang hendaknya tidak berhenti pada tahap sosialisasi yang telah dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang bekerjasama dengan Dinas Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Belitung baru-baru ini. KDRT memang sudah menjadi persoalan bangsa yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan. Apalagi tak jarang berawal dan berujung pada kemiskinan.

Desakan adanya forum yang mampu menghapuskan KDRT didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, korban tindak kekerasan berharap ada orang lain yang bisa mendengar keluhannya (pihak luar lebih proaktif). Kedua, korban merasa berada dalam tekanan-ketidakberdayaan yang masih menggantungkan diri terhadap pasangannya. Jangan-jangan keterbukaan justru menambah persoalan dan dampaknya harus mereka tanggung. Ketiga, pihak ketiga menganggap kasus KDRT berada diwilayah domestik bukan wilayah publik.

Suatu ketika di bulan Januari 1900 R.A Kartini mengirim surat kepada Estelle Zeehandelaar, seorang perempuan yang banyak mempengaruhi pemikiran Kartini. ”Kau tahu motto hidupku? ’Aku mau’. Dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan.” Aku tidak mampu menyerah ’Aku mau’ mendaki gunung itu....” (*)

No comments: